Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaum Denial (di) Indonesia

29 November 2020   11:44 Diperbarui: 11 Juni 2022   08:29 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, tak seperti itu; orang itu, denialist tersebut, hanya memperlihatkan hal yang tak sebenarnya atau tidak sesuai dengan sikon asli dirinya. Ia sementara menyangkal; serta tidak (bisa) mengakui (dam menerima) semua data dan fakta yang ada atau terjadi.

Mari Melompat ke Sikon Kekinian di NKRI Tercinta

Berdasarkan hal-hal di atas, izinkan saya sebutkan bahwa, pada sikon kekinian, Negeri Tercinta penuh dengan orang-orang yang denial; mereka, para denialist itu, ada di mana-mana; dalam semua area, lapisan, elemen masyarakat; serta pada semua latar bealakang sosial, agama, politik, dan golongan. Umumnya, reaksi (mereka) pertama terhadap segala sesuatu yang terjadi adalah 'menolak atau menyangkal.'

Dan, biasanya mereka menyangkal dengan frasa yang baku antara lain, (i) saya punya pendapat sendiri, (ii) semuanya itu bukan bukti dan fakta, (iii) perlu mencari refrensi lain, (iv) data dan fakta yang ada itu tak bisa sebagai contoh, (v) itu hanya oknum, (vi) kita tak  boleh generalis, (vi) itu hanya pendapat pribadi, (vii) semuanya ok, saya tidak terpengaruh dengan semuanya itu, (viii) walau dunia runtuh, saya tetap dengan pendapat seniri, (ix) dan berbagai orasi dan narasi pertahan diri lainnya.

Dengan frasa baku seperti di atas, memang sangat bermanfaat, walau secara kontemporer, karena membuat diri terhindar dari cemas, takut, kecewa atau sikon psikologi lainnya. Tapi, jika denial yang bekepanjangan, maka (akan) terjadi atau mencapai gangguan kejiwan, juga penyakit fisik lainnya.

Anda, ya anda yang sementara baca, pernah mengalami atau terjebak dalam sikon denial seperti di atas? Jika pernah, tak apa-apa; tapi jangan berkepanjangan karena bisa mengalami gangguan psikosomatis.

Selain model denial, seperti, di atas; ada juga denial politik para politisi. Dalam artian, seseorang, katakanlah politisi (di dalam maupun luar Parlemen serta Parpol), menyangkal hal-hal baik (dan benar; juga yang tak benar) yang sementara terjadi dalam hidup berbangsa serta bernegara.

Mereka, para politisi denial (dan juga tak sedikit tokoh informal dan pemimpin keagamaan) tersebut, terutama dari kelompok oposisi, selalu bereaksi miring, terhadap semua kebijakan (termasuk semua hal yang dilakukan) pemerintah. Kaum denial seperti ini, umumnya menempatkan diri sebagai 'berseberangan dengan pemerintah,' selalu yang pertama dan utama menyampaikan orasi serta narasi berbeda dengan pemerintah; buat mereka 'yang penting tampil beda;' dan itu adalah 'personal brandingnya.' Mau contoh? Coba perhatikan.

Misalnya, yang terjadi sekarang di NKRI, (i) pemerintah bangun jalan tol; reaksi politisi denial, buat bangun tol, toh rakyat tak punya mobil untuk lewat tol, (ii) trend ekonomi yang menaik dan membaik; reaksi politisi denial, itu khan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, (iii) vaksin untuk mengatasi covid-19 dari Luar Negeri; reaksi politisi denial, mengapa dari sana? Mengapa tak produksi sendiri? (iv) rakyat mengalami dampak korban covid-19 non-kesehatan sehingga daya beli berkuran; reaksi politisi denial, pemerintah gagal mensejahterahkan rakyat, (v) Negara membutuhkan UU Anti Terorisme; reaksi politisi denial, UU itu untuk menghambat rayat beraktualisasi diri, (vi) Polisi menangkap orang-orang yang selalu menebar orasi dan narasi kebencian; reaksi politisi denial, Negara menyumbat dan membatasi kebebasan berpendapat, (vi) dan masih banyak contoh.

Selanjutnya?

Bisakah NKRI, negeri tercinta ini, bebas dari Kaum denial, denialist, dan juga Politisi Denial? Bisa. Sebab, (i) sikon denial (yang terjadi atau diperlihatkan) seseorang umumnya bisa hilang atau sembuh; walau ada banyak kasus, terjadi berkepanjangan, (ii) tapi, 'gangguan kejiwaan' pada polistisi denial, umumnya sulit disembuhkan; apalagi, mereka adalah orang-orang yang tidak menjadi bagian dari parpol pendukung pemeritah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun