Sekitaran Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat | Anda yang berusia di bawah 40 tahun atau pada pertengahan 90an masih ABG pernah mendengar kosa kata 'Sahabat Pena?' Atau, mungkin saat ini, baru mendengar kata-kata tersebut.Â
Faktanya, sejumlah anak muda, yang tadi saya temui saat jalan-jalan pagi, belum atau pun tidak pernah mendengar kata-kata tersebut. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa, "Apa itu Sahabat Pena?" atau pun kata-kata yang sejenis dengan itu.
Nah, itulah sepotong kisah yang saya dapatkan. Lalu, apa sih Sahabat Pena tersebut? Sahabat Pena, sederhannya, merupakan  komunikasi yang dilakukan seseorang dengan yang lain melalui surat-menyurat; surat-menyurat tersebut  dilakukan secara terus-menerus; dan di dalamnya membahas berbagai macam topik.
Mengingat Kembali. Jauh sebelum era komunikasi digital dan munculnya Medsos, Â Sahabat Pena atau SP 'merajai' komunikasi antar manusia dari berbagai usia dan jenjan pendidikan.Â
Saya sendiri, telah terbiasa dan memiliki SP sejak usia sekitar 10/11 tahun atau sejak kelas V Sekolah Dasar atau SR (saya masih menikmati bersekolah di SR atau Sekolah Rakyat) di Kupang, tahun 70an. Â
Pada waktu itu, Encik  atau Ibu Guru ketika mengajar Bahasa Indonesia, selalu mendorong agar murid-muridnya mempunyai SP dari seluruh Indonesia; alasannya (i) melatih tulis menulis (iii) mendapat nilai 9 untuk Bahasa Indonesia, (iii) menambah sahabat dari seluruh Indonesia, dan (iv) mendapat pengetahuan dari teman-teman SP. Teringat, Encik Guru memberi contoh dari RA Kartini, yang ia sebut 'Pelopor Sahabat Pena' di Hindia Belanda atau  Indonesia.
Juga, faktanya, hingga paruh waktu 90an, kira-kira 94/95, surat-menyurat dalam frame Sahabat Pena, masih merupakan kebiasaan atau pun gaya hidup pada banyak orang dan kalangan.Â
Bahkan, di sana-sini ada kumpulan yang sering disebut sebagai Klup Sahabat Pena,yang bisasanya dibina atau pembinanya adalah Kepala Kantor Pos setempat.Â
Dan, karena sering surat-menyurat itu, di/dan ke mana saja pun saya pindah (dari Kota dan Provinsi) selalu menyewakan Kotak Pos agar surat-surat yang didapat, langsung dimasukan ke Kotak Pos tersebut. Masih ingat, saya memiliki PO Box 1, Sambu Batam, Kep Riau, PO Box 33, Tg Priok Jakarta Utara, dan lainnya.
Namun, setelah banyak telpon genggam, kemudian diikuti dengan fitur chatting dan sms (sebelum muncul FB dan WA) dan milis grup (bentuk  lain dari berbagi idea, gagasan, cerita, artikel) dengan e-mail sebagai syarat utama.Â
Ketika chat, sms, milis mulai ramai, giat SP makin memudar; orang lebih suka diskusi virtiual dari pada dalam bentuk surat-surat fisik. Itu juga bermakna, gaya hidup tulis menulis surat fisik atau pun SP mulai tergeser ke surat-menyurat elektronik.