Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Protes, Demo, Kerusuhan yang Terulang di AS

8 Juni 2020   12:14 Diperbarui: 8 Juni 2020   12:21 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa Catatatan

Marginal

Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal. Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran.

Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya, (Lengkapnya Klik Sumber).

Sentimen SARA

Sentimen SARA merupakan perilaku manusia, khususnya umat beragama (yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan) yang merendahkan, membatasi, dan meremehkan (termasuk tidak memberi kesempatan dan peluang), agar orang yang berbeda agama mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi dirinya secara kreatif.

........

Sentimen SARA bisa meluas menjadi konflik. Konflik itu meluas karena mereka yang mempunyai kesamaan SARA, walaupun berada di luar wilayah konflik, mau tidak mau, akan ikut berjuang, namun secara diam-diam. Itu terjadi karena adanya identitas fundamental yang menyatukan mereka sebagai kelompok yang tertindas, tersisih, dan diperangi, korban kekerasan, dan ketidakadilan; serta suatu kesamaan panggilan yaitu kewajiban untuk membela dan melindungi komunitas, (Lengkapnya Klik Sumber).

Kasus George Floyd

Seorang pria kulit hitam, George Floyd, 46 tahun, membeli sebungkus rokok di Toko Cup Foods senilai US$ 20; pelayan toko curiga uang yang dipakai. Waktu itu, sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Ia menilai gerak-gerik Floyd mencurigakan, dan melapor ke Polisi Wilayah Minneapolis. Sekitar pukul 20.08, polisi datang ke tempat kejadian dan menghampiri Floyd yang duduk di luar toko; Floyd langsung diborgol Sang Polisi, Derek Chauvin.

Tidak selesai di situ; Chauvin menekan leher yang menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit. Floyd berkali-kali merintih kesakitan dan mengaku sulit bernafas, kemudian dilarikan ke RS. Sayangnya, Floyd sudah kritis, dalam keadaan itu, ia hanya menangis dan memanggil ibunya, berseru "Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama;"  ia pun tewas. Kematian tersebut, kemudian berujung pada kerusuhan di Minneapolis, dan tersebar di wilayah lainya di AS.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kematian George Floyd memang tragis; ia tewas setelah mendapat pertolongan di RS. Kematian tersebut, langsung menjadi trending, karena sebelumnya vidio penyiksaan terhadapnya beredar di seantero Dumay.

Dalam hitungan menit, berita kematian tersebut berlanjut menjadi aksi demo, protes, dan dilanjutkan dengan kerusuhan sosial. Memang, saat ini sudah mereda, namun kerusuhan tersebut telah memporakporandakan hubungan sosial, menghancurkan properti, penjarahan, bahkan secara sporadis terjadi aksi 'pukul-memukul' antar warga, (dan vidio-vidio dan foto beredar hingga Grup-grup WA di Indonesia. Saya pun melarang anggota Grup Indonesia Hari Ini memposting foto dan vidio kerusuhan di AS).

Namun, di balik itu, ada Warganet, utamanya ABG, melalui akun Medsos mereka, melihat kematian George Floyd sebagai bentuk 'awal pemicu' rasisme di AS, padahal tidak seperti itu. Dari jejak digital, ada sejumlah kematian warga kulit hitam yang memicu aksi protes, demo, rusuh di USA. 

Jika diurut jauh ke belakang, pada konteks sosio-kultural-pol-kum-ham AS, hubungan antar warga tidak lepas dari sejumlah kasus-kasus kekerasan antar warga, bahkan perang saudara, dipicu oleh sentimen perbedaan SARA, utamanya antar warga 'berkulit putih dan hitam atau berwarna;' misalnya kulit putih vs turunan Afrika, Indian, atau pun Amerika Latin.  Walau seperti itu, upaya-upaya untuk menyatukan perbedaan (dan sentiment) SARA, terus menerus dilakukan sebagai upaya bersama. Semuanya bertujuan agar terjadi 'semakin tipisnya' perbedaan sehingga menjadi 'We are American.'

Jadi, kerusuhan pasca kematian George Floyd tersebut, bisa disebut sebagai 'kerusuhan yang terulang;' dalam artian hal yang sama pernah dan sudah terjadi sebelumnya; dan kini terulang kembali. Dengan demikian, walau Warga Amerika, sering terlihat dalam/dan melalui frasa 'Kebanggaan Amerika, I am American,'  tidak bermakna mereka tidak menyimpan perbedaan SARA dalam hidup serta kehidupan mereka.

Mereka tetap menyimpan atau mengarsip hal tersebut dalam hati, tidak pernah dilupakan serta melupakannya, akibatnya, sewaktu-waktu apa-apa yang tersimpan tersebut dapat terekspos keluar. Atau, jika ada pemicunya, maka sentimen SARA yang tersimpan tersebut, dikeluarkan; kemudian memunculkan vandalisme, kekerasan, atau pun kerusuhan.

Sikap Kita

Kenyataan yang tak bisa dibantah bahwa tak seorang pun bisa memilih untuk tidak/dan mau dilahirkan di/dalam batasan etnis, sub-suku, suku, golongan, dan agama tertentu. Dalam perbedaan seperti itu, seseorang lahir, bertumbuh, dan berinteraksi, kemudian secara bersama memasuki dunia dan masyarakat yang lebih luas, misalnya sebagai Bangsa dan Negara.  

Pada sikon itu, sebagai Bangsa dan Negara, semuanya harus bisa, mampu, berupaya menyatukan diri agar menjadi kesatuan dan persatuan besar; kesatuan dan persatuan yang berani melepaskan diri dari sekat-sekat perbedaan, termasuk sentimen SARA. Itu, yang utama dan pertama terjadi pada masyarakat atau Warga Negara di seluruh Dunia, termasuk Indonesia.

Agaknya, apa-apa yang seharusnya terjadi tersebut, hanya 'tipis' di AS, dan mungkin juga Indonesia, Negeri Tercinta ini. Jika benar, masih 'hubungan yang tipis' di Indonesia tersebut, maka perlu terus-menerus melakukan upaya mempererat hubungan antar sesama anak bangsa, misalnya melalui memperlakukan Sumpah Pemuda dan Pilar-pilar Persatuan Bangsa di/dalam hidup dan kehidupan setiap hari.

Cukup lah

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun