Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Takjil dan Layak Konsumsi

15 Mei 2020   17:34 Diperbarui: 15 Mei 2020   17:43 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar Kompas, Tribun, Tempo, Detik dan Dokumentasi Pribadi

Kutipan: Tentang Takjil

Takjil, ta'jil (Arab, 'ajila) berarti menyegarkan dan mempercepat; atau sesuatu yang bisa menyegarkan. Pada mulanya, kata tersebut dipergunakan dalam konteks seseorang yang (setelah) bekerja keras (misalnya petani, gembala, pekerja) atau pun berjalan jauh (misalnya rombongan kafilah atau pedagang) dan tidak (sempat berhenti untuk makan), pada waktu ia (rombongan) singgah di Oase, maka mereka melakukan 'ajila atau ta'jil.

Para petani, gembala, atau pun pekerja yang bekerja dari pagi hingga siang atau soreh, beristirahat, dan makan serta minum. Makanan dan minuman tersebut untuk menyegarkan tubuh, sehingga bisa mencerpat pekerjaan atau tugas mereka.

Khususnya para pedagang atau pun kafilah, ketika mereka tiba di Oase, maka barang dagangan di atas punuk onta diturunkan, kemudian diberi minum. Semetara itu, orang-orangnya menyegarkan diri dengan mandi atau pun membasahi tubuh mulai dari kaki hingga kepala, kemudian mereka makan dan minum.

Setelah semuanya sudah segar (dan juga kenyang) maka mereka pun melanjutkan perjalanan, dengan harapan akan lebih cepata sampai di tujuan karena sudah ta'jil atau segarkan diri, makan, dan minum.

Pada perkembangan kemudian, ta'jil, ajila, entah sejak kapan, khususnya di Indonesia, hanya dihubungkan dengan Ibadah Puasa atau makanan untuk berbuka puasa atau setelah menjalani puasa (dan doa) dari Subuh hingga Magrib.

Penggunaan ini, sebetulnya tidak salah. Sebab, jika Puasa, juga diyakini sebagai 'perjuangan dan perjalanan spritual' yang penuh godaan, maka terjadi suatu pergulatan rohani yang bisa atau sangat melelahkan.

Pada 'perjuangan dan perjalanan spiritual' yang melelahkan tersebut, seseorang atau kita bisa saja jatuh atau tergoda, Puasa bisa batal. Namun, ketika seseorang atau kita, bisa mencapai menit-menit terakhir Ibadah Puasa (hari itu), ketahanan tubuhnya menurun, sehingga membutuhkan ta'jil. Di sini, ta'jil berfungsi sebagai 'makanan awal' sebelum makan yang lainnya.

Karena sebagai 'makanan awal,' maka ta'jil sering berupa minuman (dingin, hangat, dan panas), atau makan dengan kadar air yang banyak; di samping itu bisa berupa aneka gorengan (yang minim minyak), makanan berserat (terutama buah-buhan) atau pun bubur kacang hijau dan aneka juice.

Sumber: Kompasiana

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Lentenga Agung, Jakarta Selatan | Tak terasa, anda dan saya, telah berhasil melewati hari-hari puasa dan berpuasa hingga hari ini. Walau tidak seperti biasanya tapi saat puasa seperti sekarang ini, masih merupakan hari-hari ibadah yang menyenangkan dan tanpa beban; ibadah memang harus menyenangkan dan tanpa beban.

Ya, walau dalam balutan (dan ketakutan) Covid-19, sebagai orang dewasa yang beriman dan sehat, tentu tetap menjalankan puasa; juga walau tidak seramai waktu puasa tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pada puasa kali ini, penjualan takjil tidak seramai tahun-tahun sebelumnya.

Saya, yang tidak ikut berpuasa, ikut merasakan bahwa tahun ini terlihat sepi dari penjualan takjil, yang biasanya ramai berjejar sepanjang jalan lingkungan atau pun gang.

Memang sedikit yang berjualan dan menjuak takjil, tapi sikon atau cara penjualan dan penyajiannya sama; sama seperti waktu-waktu sebelumnya, yaitu terbuka, tanpa tutup, di pinggir atau jalan umum yang ramai.

Kemarin Soreh, karena tertarik dengan beberapa makanan takjil yang dijual, saya berupaya membeli, dan diam-diam melakukan 'take photos.' Setelah memperhatikan makanan yang digelar atau dijual, saya hanya membeli beberapa nagasari dan dua bungkus pepes ikan; padahal tertarik yang lain, namun urung atau batal.

Urung membeli, bukan karena terlihat tidak enak dan tak ada uang, tapi penyajiannya yang terbuka alias tidak tertutup. Ya, umumnya takjil yang dijual, tidak tertutup rapi atau terbuka; sehingga bisa dibayangkan sudah berapa banyak butir debu yang melekat  pada makanan tersebut. Apa mau dikata, saya tak bisa protes atau apa lah ke Si Ibu Muda yang menjual.

Itu di Lenteng Agung. Bagaimana dengan di tempatmu; ya di sekitar rumah atau tempat tinggalmu? Mungkin terjadi hal yang sama; banyak orang menjual takjil di pinggir jalan, namun tanpa meperhtikan cara menjual atau penyajiannya, sehingga semuanya digelar terbuka tanpa perlindungan dari debu dan polusi.

Agaknya, kebiasaan menjual makanan secara terbuka seperti itu, mungkin menjadi ciri khas dan dilakukan oleh banyak orang di banyak tempat. Dengan demikian, yang terjadi adalah membeli makanan sekaligus kuman, bakteri, atau pun bibit penyakit. Tapi, karena perut atau lambung orang-orang Indonesia termasuk kebal dan tahan penyakit, maka makanan yang dijual terbuka seperti itu laris manis atau tetap dibeli.

Selanjutnya?

Menjual takjil, di pinggir jalan, pada waktu Bulan Puasa, memang menguntunkan dan sangat membantu banyak orang yang tidak sempat masak di rumah; tapi perlu juga memperhatikan unsur-unsur penyajiannya atau cara penjualannya. Sebab, walau dipastikan bahwa makanan yang dijual tersebut 100% halal, namun unsur higinitasnya patut dipertanyakan; apalagi dijual di tepi jalan umum plus sikon pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Jadi, unsur penyajian atau cara penjualan juga merupakan hal yang penting. Sebab menurut Kementerian Kesehatan RI, makanan yang layak dikonsumsi harus memenuhi kriteria, (i) memiliki derajat kematangan yang dikehendaki, (ii) bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya, (iii) bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzim, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan, dan pengeringan, (iv) bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit.

Nah.

Oleh sebab itu, ini cuma usulan. Untuk teman-teman yang menjual takjil, apalagi masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, ada baiknya memperhatikan cara penyajiannya, serta kemas atau bungkus dengan  baik, misalnya dengan daun pisang, agar terjaga kebersihannya. Saya yakin, dengan cara seperti itu, takjil yang dijual, walau dengan menaikan harga, (akan) tetap laris manis. Percayalah!

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun