Saya, yang tidak ikut berpuasa, ikut merasakan bahwa tahun ini terlihat sepi dari penjualan takjil, yang biasanya ramai berjejar sepanjang jalan lingkungan atau pun gang.
Memang sedikit yang berjualan dan menjuak takjil, tapi sikon atau cara penjualan dan penyajiannya sama; sama seperti waktu-waktu sebelumnya, yaitu terbuka, tanpa tutup, di pinggir atau jalan umum yang ramai.
Kemarin Soreh, karena tertarik dengan beberapa makanan takjil yang dijual, saya berupaya membeli, dan diam-diam melakukan 'take photos.' Setelah memperhatikan makanan yang digelar atau dijual, saya hanya membeli beberapa nagasari dan dua bungkus pepes ikan; padahal tertarik yang lain, namun urung atau batal.
Urung membeli, bukan karena terlihat tidak enak dan tak ada uang, tapi penyajiannya yang terbuka alias tidak tertutup. Ya, umumnya takjil yang dijual, tidak tertutup rapi atau terbuka; sehingga bisa dibayangkan sudah berapa banyak butir debu yang melekat  pada makanan tersebut. Apa mau dikata, saya tak bisa protes atau apa lah ke Si Ibu Muda yang menjual.
Itu di Lenteng Agung. Bagaimana dengan di tempatmu; ya di sekitar rumah atau tempat tinggalmu? Mungkin terjadi hal yang sama; banyak orang menjual takjil di pinggir jalan, namun tanpa meperhtikan cara menjual atau penyajiannya, sehingga semuanya digelar terbuka tanpa perlindungan dari debu dan polusi.
Agaknya, kebiasaan menjual makanan secara terbuka seperti itu, mungkin menjadi ciri khas dan dilakukan oleh banyak orang di banyak tempat. Dengan demikian, yang terjadi adalah membeli makanan sekaligus kuman, bakteri, atau pun bibit penyakit. Tapi, karena perut atau lambung orang-orang Indonesia termasuk kebal dan tahan penyakit, maka makanan yang dijual terbuka seperti itu laris manis atau tetap dibeli.
Selanjutnya?
Menjual takjil, di pinggir jalan, pada waktu Bulan Puasa, memang menguntunkan dan sangat membantu banyak orang yang tidak sempat masak di rumah; tapi perlu juga memperhatikan unsur-unsur penyajiannya atau cara penjualannya. Sebab, walau dipastikan bahwa makanan yang dijual tersebut 100% halal, namun unsur higinitasnya patut dipertanyakan; apalagi dijual di tepi jalan umum plus sikon pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Jadi, unsur penyajian atau cara penjualan juga merupakan hal yang penting. Sebab menurut Kementerian Kesehatan RI, makanan yang layak dikonsumsi harus memenuhi kriteria, (i) memiliki derajat kematangan yang dikehendaki, (ii) bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya, (iii) bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzim, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan, dan pengeringan, (iv) bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit.
Nah.
Oleh sebab itu, ini cuma usulan. Untuk teman-teman yang menjual takjil, apalagi masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, ada baiknya memperhatikan cara penyajiannya, serta kemas atau bungkus dengan  baik, misalnya dengan daun pisang, agar terjaga kebersihannya. Saya yakin, dengan cara seperti itu, takjil yang dijual, walau dengan menaikan harga, (akan) tetap laris manis. Percayalah!