Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Damai dengan Covid-19," Siapa Takut?

10 Mei 2020   12:21 Diperbarui: 12 Mei 2020   16:28 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitaran Hutan Hijau Universitas Indonesia, Depok - Jawa Barat | Hidup dan kehidupan manusia tidak lepas dari interaksi sosial atau dengan sesama, tanpa itu, maka 'Sang Manusia' itu akan disebut sebagai antisosial. Pada konteks interaksi tersebut, terjadi aneka bentuk giat dan kegiatan hubungan yang diwarnai dengan (penuh) cinta, kasih sayang, marah, amarah, benci, kebencian, dan terindah adalah damai, berdamai, serta pedamaian.

Lalu, apa sih damai dan berdamai, serta perdamaian itu? Utamannya 'damai;' kata yang beberapa hari terakhir ramai di Dumay; tiba-tiba, terutama di Medsos, banyak orang membahasnya seakan sebagai agen perdamaian dan 'damai dan berdamai' menurut mereka yang paling benar  serta wajib diikuti. Ok lah. Namanya juga di Medsos, semuanya mau jadi 'The One dan The Best.'

Lalu, apa sich damai dan berdamai itu sehingga menjadi debat tak bermutu di Medsos atau pun Dumay?

Damai bisa bermakna tidak bermusuhan, tak memusuhi, bersikap bisa menerima dan memahami sesuatu (benda mati dan hidup) dengan benar, di/dalam kelebihan dan kekurangan, termasuk berlaku, bertindak, berucap baik terhadap apa dan siapa pun. 

Damai juga bisa bermakna tidak memperlakukan sesuatu sebagai musuh (yang harus dihancurkan), tapi menerima dan memperbaikinya. Selain itu, damai bisa diperluas sebagai upaya untuk merubah yang rusak dan kehancuran menjadi utuh, sembari menjaga agar tidak kembali seperti bentuk asal.

Sedangkan, berdamai merupakan tindak dan bentuk nyata dari damai (di atas), dan dilakukan terus-menerus, serta tanpa  batas durasi waktu. Dengan itu, damai harus diikuti dengan berdamai, kemudian berujung pada sikon perdamaian.

Jadi, damai, berdamai, dan perdamaian harus terjadi atau ada perubahan; perubahan reaksi, tanggapan, perilaku, orasi, dan narasi. Sehingga dari dalamnya mampu melihat dan menilai, yang tadinya mungkin sebagai musuh dan dimusuhi, sesuatu secara utuh dan menyeluruh. 

Lalu, jika terjadi hal-hal yang bersifat atau bisa berdampak pada ketiadaan damai, ketidakmampun berdamai, dan kehilangan perdamaian, maka harus melakukan upaya agar (kembali) tercipta (dan terjadi) damai serta perdamaian.

Konteks Berdamai dengan Covid-19

Beberapa waktu yang lalu, ketika Presiden Jokowi mengucapkan, "Kita (harus, bisa) Berdamai dengan Covid-19," banyak orang hanya menanggapinya sebagai (i) tidak lagi bermusuhan dengan Covid-19, (ii) bersahabat dengan Covid-19, (iii) tidak lagi membasmi, memberantas, menghancurkan pandemi Covid-19, dan paling parah, ada yang mengatakan bahwa ucapan Presiden itu bermakna (iv) damai dengan Covid-19 dan memusuhi rakyat.

Padahal, konteks ucapan Presiden tersebut, lebih dari sekedar memahami damai dan berdamai secara sempit, kerdil, dan tak cerdas. Pada konteks ucapan itu, sebetulnya Presiden (ingin) menyampaikan bahwa karena, kami, sudah tahu dan memahami persis detail tentang Covid-19, maka (akan) mudah memberantas atau mengatasinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun