Tentang Paranoid
Paranoid merupakan sala satu bagian dari Psikologi Abnormal, yang sederhananya fokus pada kepribadian seseorang yang mencurigai atau curiga (sangat) berlebihan terhadap orang lain, kelompok, situasi di sekitarnyta. Kecurigaan itu muncul ketika ia mendengar, melihat, merasakan, atau pun berada pada lokasi dan situasi yang ia (penderita) nilai berhubungan dengan dirinya. Â Karena adanya hubungan itu, maka ia (penderita) berusaha melakukan penghindaran dan penolakan, bahkan dengan cara-cara yang ekstrim dan tak masuk akal.
Tanda-tanda yang sering terlihat pada seseorang yang paranoid, misalnya (i) merasa dirinya akan diperlakukan jahat, kasar, pelecehan, merugikan, ditipu, dan sejenisnya, (ii) tidak percaya pada orasi, narasi, tindakan orang lain yang tertuju pada dirinya, (iii) mudah bereaksi dengan tingkat emosi yang tinggi, marah tanpa alasan, (iv) selalu merasa terancam (v) menutup dan menghindari diri dari interaksi dengan orang lain dan kelompok, diikuti dengan pengurungan diri dalam rumah atau tempat yang tak mudah dijangkau.
Gampangnya, paranoid adalah gangguan 'Jangan-jangan;' misalnya, Â 'jangan-jangan saya tertular, jangan-jangan ia orang jahat, jangan-jangan mereka akan berbuat jahat pada saya, jangan-jangan makanan ini beracun, jangan-jangan ia mau mencuri, dan seterusnya.'
=====
Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Saat ini, ya sekarang, di mana posisimu? Dirimu ada di mana? Dan, mengapa anda dan saya lakukan semuanya itu? Jawaban termudahnya adalah karena melakukan pembatasan diri sendiri agar tidak terserang Covid-19. Jawabang yang terlihat keren. Tapi, dari dalam lubuk hati yang terdalam, jawaban tersebut benar? Mudah-mudahan ya.
Jika mau terus terang atau jujur, mungkin saja anda seperti saya, yang kini mulai terserang gangguan 'Soft Paranoid;' dalam artian, takut dan curiga yang cenderung berlebihan terhadap situasi di luar rumah atau area publik; takut dan curiga terhadap siapa pun, 'jangan-jangan' ia membawa Covid-19 dan (akan) menularkan ke/pada saya.
'Soft Paranoid' ini sangat beralasan; karena sebagai orang tinggal sendiri, usia di atas 60 tahun, dan tiap pagi-siang-malam harus keluar untuk sarapan, makan siang dan malam, bisa saja terserang Covid-19. 'Soft Paranoid' mulai muncul dan terasa ketika jelang hari ke 10 dengan kegiatan yang baku, statis, monoton agar terhindari Covid-19.
Ternyata, saya tidak sendiri; sejumlah rekan, usia 60 ke atas, juga mengalami seperti saya. Ketika saya bertanya kepada mereka (secara virtual), tadinya mereka menjawab standar; namun saat menjelaskan tentang 'Soft Paranoid,' maka jawabannya adalah sama. Sama dengan apa yang saya alami.
Lalu? Hal berikutanya, berapa banyak orang Indonesia, utamanya mereka yang berisiko tinggi terserang Covid-19, yang saat ini telah menderita 'Soft Paranoid?' Ini bukan suatu hal yang mengada-ada, tapi serius. Sebab, jika terjadi, dan terus menerus serta tanpa kontrol atau ruang untuk mereka interaksi; maka ada kemungkinan ketika ia bersin pun, langung parno bahwa dirinya terserang Covid-19, dan seterusnya. Sikon kejiwaan seperti ini, justru mempermudah dirinya terserang berbagai penyakit; kemudian menjudge diri terserang Covid-19.
So. Solusi cerdasnya?
Jika kita, Â anda dan saya, mempunyai keluarga, ayah, ibu, atau orang-orang dekat yang berusia di atas 60 tahun, maka jangan biarkan mereka ada di/dalam balutan kesepian, sendiri, serta kesendirian. Karena itu, akan berdampak pada perubahan dari 'Soft Paranoid' menjadi gangguan yang lebih akut yaitu 'Paranoid Disorder.' Atau, bahkan mati dalam kesepian karena takut dan ketakutan.
Cukuplah
Opa Jappy | Yang Mulai Ciri-ciri Soft Paronoid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H