Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gagal Mengatasi Banjir di Jakarta, Bisa Memunculkan Apatisme Publik

26 Februari 2020   11:51 Diperbarui: 26 Februari 2020   12:25 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Srengseng Sawah, Jakarta Selatan | "Jakarta Banjir Lagi!" Biasa lah, itu mah Anugerah; Jakarta digenangi air hujan? Tak apa, "Lihatlah, membuat anak-anak gembira, mereka senang bermain-main di banjir!" Jakarta Banjir, hingga masuk ke halaman Istana? "Tak lah, itu karena air antri, untuk masuk saluran atau got." Jakarta Banjir? "Ah, hanya pada hari libur."  Jakarta kebanjiran, sekolah diliburkan; "Tak apa-apa, beri kesempatan agar anak-anak menikmati masa bermain-main dan tidak mikir PR melulu."

Itu adalah sedikit dari ribuan ungkapan dari Petinggi DKI Jakarta serta disambut sarkas Nitizen Jakarta terhadap banjir bergelombang alias berjilid-jilid di Jakarta. Lebih dari itu, ketika Pemda DKI Jakarta cenderung lamban melakukan penanganan agar terhindar dari genangan air dan pasca-banjir, telah membuat warga mulai melakukan 'aksi mengatasi banjir dengan cara sendiri.' Lihatlah, kemarin, entah siapa yang memulai, puluhan warga 'menyerang' salah satu Mall di Kelapa Gading, dengan tuduhan sebagai penyebab banjir.

Itulah warga kita; warga Metropolitan Jakarta. Mereka (i) cukup kreatif bermain kata-kata untuk mengungkapkan ketidaksukaan, sembil membuat dirinya tidak bersalah; (ii) cenderung menyalahkan orang lain, daripada melihat ke dalam diri; juga yang sementara terjadi di Jakarta adalah (iii) Pemda DKI Jakarta, seakan, membiarkan Jakarta terus menerus tergenang air, sekaligus sebagai membawa pesanh politik; (iv) pesan politik yang berbunyi, "Kalian tak perlu ikutan urus Jakarta, karena Jakarta urusanku."

Nah, dengan model ".... menggonggong, Emannya gue pikirin?" itulah yang akhirnya Warga Jakarta yang kebanjiran cuma bisa 'Elus dada, dan diam.' Saya pun seperti itu, walau sudah tidak pernah menikmati kebanjiran sejak 2010 (gegara pindah di ketinggian, jauh dari area kesibukan Metropolis). Sikon terima nasib, pasrah, dan biarkan berlalu dan terjadilah maka terjadilah; jika terus menerus seperti itu, maka akan memunculkan sikap (dan tindak) apatis serta apatisme.

Seseorang yang apatis atau menjadi apatis karena pelbagai sebab. Apatis, apathetic, bermakna acuh tak acuh, lesu, tidak menghiraukan); suatu sikon psikis yang menunjukan tidak peduli terhadap, hampir, semua hal yang terjadi di sekitarnya, termasuk yang berhubungan langsung dengan diri sendiri. Termasuk di dalamnya (sudah) tidak peka terhadap sikon dan kehilangan orientasi waktu (ini biasanya terjadi pada orang yang menderita sakit, lama terbaring di ranjang, serta terkurung dalam kamar). Ini merupakan apatis atau pun apatisme personal.

Selain apatisme personal, ada apatisme publik; atau suatu sikon pada masyarakat (pada komunitas atau pun kelompok masyarakat desa, kota, maupun wilayah yang lebih luas) acuh tak acuh serta tidak perduli terhadap apa pun yang disampaikan ke/pada mereka; misalnya, komunitas yang tidak menolak atau pun tak menerima program-program yang datang dari (ditawarkan) Pemerintah. 

Pada sikon itu, mereka tidak menganggap Pemerintah itu ada atau pun tidak; mereka hanya melakukan hal-hak yang berhubungan dengan bertahan atau pun kelangsungan hidup dan kehidupannya. Tidak lebih dari itu.

Nah. Bagaimana dengan DKI Jakarta, yang sejak akhir 2019 hingga sekarang terus menerus diterjang banjir? Bisa disebut, dua hari setiap Minggu, Jakarta selalu terjadi genangan air yang melewati batas normal. Dan, cara mengatasinya dengan dengan tebarkan foto, orasi, dan narasi di TV.

Banjir yang terus menerus tersebut, pada awalnya, rakyat Jakarta melihat semuanya; mereka pun bereaksi pedas terhadap Gubernur dan jajarannya. Namun, semakin ke sini, sekeras dan setajam apa pun kritik serta kritisi dari warga Jakarta, tidak mendapat tanggapan apa pun dari Gubernur Jakarta dan jajarannya. Malah yang muncul adalah pembelaan terhadap 'biarkan banjir' karena membawa berkah, sesuatu yang menyenangkan, nikmatilah, dan lihat awal tulisan (di atas).

Jadinya, saya menjadi kuatir; kuatir dengan sikon Jakarta Kekian. Sikon kekinian Jakarta yang bisa memunculkan apatisme publik terjadap apa pun yang Gubernur dan jajarannya lakukan.  Apatisme publik seperti itu, yang saya takutkan tersebut, misalnya pernah terjadi pada getho-getho di Afrika Selatan (era Apartheid), daerah-daerah kumuh di New York, serta area tenda-tenda Palestina di Libanon, serta berbagai tempat lainnya.

Mungkinkah terjadi apatisme publik di Jakarta? Mungkin terlalu berlebihan; tapi menurut saya, bisa terjadi. Sebab, bukan saya mau ingatkan ke Gubernur DKI Jakarta sebelum Yang Sekarang Memerintah; pada masa itu, walau ada demo terus menerus, publik tetap saja antusias terhadap hal-hal (hasil-hasil kerja, transparansi, laporan-laporan kegiatan yang tersebar melalui video dan akun Medsos) baru. Sebaliknya, Jakarta Kekinian, semuanya kelabu dan tidak transparan.

Jakarta Kekinian seperti itu, sekali lagi menurut saya, akan melahirkan apatisme publik, khususnya terhadap Gubernur DKI Jakarta dan Jajarannya. Maka, warga Jakarta akan terbiasa dengan kemacetan di jalan-jalan utama, parkir liar, pkl, sampah, banjir, premaan, dan kekumuhan kota lainnya; sehingga mereka pun elus dada serta terima nasib, jika ada yang menyebut Jakarta sebagai Kampung Kumuh terbesar di Dunia.

Cukup lah

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun