Pesawaran, Lampung | Sejak 20 Oktober 2019 hingga 28 Januari 2020, genap sudah Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf bergulir. Banyak pengamat, aktivis, LSM, dan rakyat biasa memberi apresiasi positif terhadap capaian pada 100 hari tersebut.
Paling tidak, capaian 100 hari kerja tersebut, kerja dan kegiatan mereka beranjak dari Visi dan Misi mereka, yaitu "Upaya meneruskan jalan perubahan untuk mewujudkan Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong ditempuh dengan sembilan misi.
1. Peningkatan kualitas manusia Indonesia. 2. Struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing. 3. Pembangunan yang merata dan berkeadilan. 4. Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan. 5. Kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. 6. Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. 7. Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga. 8. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya. 9. Sinergi pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan."
Karena Visi dan Misi tersebut bersifat 'meneruskan' yang belum selesai pada era Jokowi-JK, maka pada ketika selesai dilantik, Ma'ruf lebih banyak 'jaga Istana' (seperti JK pada waktu itu), dan Jokowi berkeliling Nusantara, serta sekali-kali terbang ke Luar Negeri. Dari 'keliling Nusantara' itu, Jokowi meninjau yang sementara di bangun serta meresmikan yang sudah selesai; bahkan 'memaksa' agar yang proyek atau program yang berjalan lambat, dipercepat. Itulah Jokowi Style; kerja, kerja, kerja.
Gaya mempercepat dan percepatan seperti itu, tentu saja para Anggota Kabinet pun tak bisa melangkah pelan atau pun jalan di tempat. Mereka harus ikut gerak, inovatif, bahkan harus siap dengan data, fakta, detail kemajuan projek, kendala, dan lain-lain secara lengkap, karena sewaktu-waktu diwajibkan terbang bersama Jokowi di daerah tujuan. Sehingga, jika ada Anggota Kabinet yang kurang siap dan sigap, maka ia akan ditinggalkan serta mendapat poin minus. Dan, jika kebanyakan  nilai minus, maka pasti akan diganti.
Jokowi Style seperti itu, sama dengan ketika berpasangan dengan JK, ternyata mendapat apresiasi dari banyak pihak di Dalam dan Luar Negeri; apresiasi tersebut, intinya, Jokowi (dengan JK dan Ma'ruf) telah melakukan perubahan pada tampilan abstrak serta konkrit NKRI.
Sayangnya, perubahan dan kemajuan tersebut, tetap saja tidak merubah hati, pikiran, mata, telinga, dan cara berpikir serta model pandang mereka yang opisisi terhadap Jokowi-Ma'ruf (dan juga ketika Jokowi-JK). Aneh khan?
Mari, sejenak menoleh ke 100 hari periode pertama. Ketika itu, Capres yang dikalahkan Jokowi adalah Prabowo Subianto, para pendukung Prabowo tidak bisa menerima keadaan dengan lapang dada terhadap kekalahan sosok yang mereka dukung. Akibatnya, pada 100 hari periode I, (yang) terjadi adalah, setiap hari, Media (terutama Medsos) dipernuhi dengan orasi, narasi, image, foto ketidaksukaan terhadap Jokowi (dan JK).
Bahkan, ketidaksukaan itu, bukan lagi bersifat politik/tis melainkan menghantam pribadi Jokowi dan Keluarganya. Tapi, Â Jokowi tetap tegar, walau kadang terlihat (pada rekaman bahasa tubuh di Media) geram dan menyimpan kegusaran.
Bagaimana dengan sikon sekarang, 100 hari periode kedua ini? Jokowi Style masih ada, malah lebih leluasa dan meluas ke mana-mana.
Pada masa ini, 100 hari periode kedua, ternyata narasi ketidaksukaan pun masih sama, walau Prabowo Subianto telah menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.