Kupang, Nusa Tenggara Timur | Sekali lagi tentang Gas. Ternyata, Indonesia termasuk salah satu penghasil atau memiliki cadangan gas terbesar di Dunia; tapi, Indonesia juga termasuki konsumer dan penginpor Gas terbesar di Dunia.Â
Itulah Indonesia; masi ada yang lain, penghasil batu bara sekaligus penginpor, penghasil nikel tapi inpor hasil olahan nikel, penghasil bambu tapi juga inpor hasil olahan bambu, dan seterusnya.
Kembali ke Gas; berapa banyak kebutuhan gas Indonesia pada tahun 2019, serta dipenuhi melalui tambang dan inpor, datanya belum dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Namun, diperkiraan, setiap tahun, minimal atau rata-rata 40 billion cubic metres (bcm) gas yang dikonsumsi industri di Indonesia, serta sebagian besar dipenuhi melalui inpor.
Dari sekian billion cubic metres gas tersebut, berapa banyak yang menjadi konsumsi rumah tangga? Dalam artian, gas dalam tabung 3, 5, 12 Kg, yang banya digunakan di Indonesia. Apalagi, katenya, kemasan atau tabung Gas 3 Kg sebagai 'jatah' keluarga pra-sejahtera (dan di dalamnya ada subsidi).
Sebagai tambahan informasi: urutan konsumsi Gas (Gas Alam dan LPG) di Indonesia adalah Industri atau pabrik dan mesin, listrik, perhotelan, rumah sakit, dan terakhir adalah rumah tangga. Padahal, amanat undang-undang menyatakan bahwa kekayaan alam dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.Â
Lalu, gas yang melimpah di Indonesia tersebut, mengapa tidak tidak dinikmai secara murah oleh rakyat Indonesia? Penyebab uatamanya adalah jaringan gas untuk konsumsi atau masuk rumah tangga masih sangat minim, Sehingga setiap rumah di Indonesia belum bisa menikmati langganan gas seperti Air (PAM) dan Listrik (PLN).
Menurut data Kementerian ESDM, jumlah rumah tangga yang telah menikmati jaringan gas adalah Palembang (3.311 sambungan rumah), Surabaya (2.900 sambungan rumah), Sidoarjo (8.647 sambungan rumah), Depok (4.000 sambungan rumah), Tarakan (3.666 sambungan rumah), Bekasi (4.628 sambungan rumah), Bontang (3.960 sambungan rumah), Sengkang (4.172 sambungan rumah), rusun Jabodetabek (5.234 sambungan rumah), Prabumulih (4.650 sambungan rumah), Jambi (4.000 sambungan rumah), Bogor (4.000 sambungan rumah), dan Cirebon (4.000 sambungan rumah) atau mencapai 57-60.000 sambungan.
Bayangkan, dari lebih dari 200 juta penduduk Indonesia pemilik cadangan gas terbesar no 14 di Dunia, hanya sekian puluh ribu rumah tangga yang sudah menikmati jaringan gas (seperti air dan listrik). Sisanya? Entah kapan. Menurut seorang teman, yang mantan petinggi di Kementerian ESDM, penyebab utama minimnya jaringan gas ke rumah-rumah adalah tidak ada atau belum dibangun pipa (jaringan) gas, seperti kabel telpon dan listrik, di Indonesia.
Ketika saya bertanya padanya, "Mengapa seperti itu; Â dan mengapa belum membangun jaringan gas, padahal sejak tahun 1857 sudah ada jaringan gas (masuk) rumah di Indonesia."Â
Ia, teman saya itu, menjawab dengan lugas, (i) Indonesia, sekarang, tidak memiliki peta jaringan gas peninggalan Belanda; mungkin ada tapi harus dicari, (ii) pipa-pipa jaringan gas tersebut, kemungkinan sudah bocor, rusak, berkarat, karena tidak dipakai, (iii) jadi harus membangun pipa baru. Dan, yang lebih membuat saya menjadi tahu adalah, (iv) adanya pabrik atau produsen tabung gas, milik konglomerat terkenal, sehingga jika membangun jaringan pipas gas, maka pabrik-pabrik tabung gas akan collaps, (v) adanya 'kartel' penginpor gas.
Jadi jelas khan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika program Pembangunan Jaringan Gas Bumi untuk Rumah Tangga dicanangkan, timbul antusiasme publik, bahwa nantinya rakyat Indonesia menikmati gas murah dan berlangganan seperti air dan listrik. Sehingga pengoperasian gas untuk rumah, misalnya PGN atau Perusahan Gas Negara berhasil menarik perhatian pelanggan gas di berbagai kota (lihat di atas).
Tapi, iming-iming PGN bahwa gas alam (yang disalurkan ke rumah) harganya stabil, cuma janji palsu. Seorang pelanggan gas dari PGN di Palembang, yang saya ditemui beberapa waktu yang lalu, justru mengeluh tentang seenaknya PGN menaikkan harga gas (lihat image). Menurutnya, pada waktu itu, biaya pemasangan Rp. 3.600.000, plus satu kompor gas, dan janji harga stabil.
Faktanya, pelanggan gas PGN, servis memuaskan, tak ada keluhan, satu kompor (nyala biru), tidak bisa lebih dari satu kompor; dan PGN menaikkan harga yang mencekik tanpa pemberitahuan. Sehingga, saat ini, pelanggan gas PGN harus membayar, minimal sekitar Rp 200.000.- atau lebih tinggi dari harga LPG 12 Kg. Nah. Apa penyebanya? Sekali lagi, entah lah!
Tapi, jika memperhatikan adanya 'kartel' inpor gas (beberapa waktu yang lalu, beredar video Presiden Jokowi yang 'geram' terhadap mereka yang suka inpor gas ), maka ada kemungkinan, mereka pun ikut 'bermain' sehingga harga gas untuk rakyat, seperti dalam tabung, ikut meninggi.
Jadi?
Memang ada upaya agar segenap rakya Indonesia menikmati 'gas murah,' tapi masih ada sejumlah kendala; namun usaha untuk itu, harus terus-menerus dilakukan. Jadi, saya setuju dengan Presiden Jokowi, sesuai video yang viral, bahwa membangun kilang gas, kurangi inpor. Tapi, menurut saya, harus ditambah dengan segera membangun pipa jaringan gas, basmi kartel tabung gas serta tidak peduli dengan pabrik-pabrik tabung gas.
Gas untuk rakyat, bukan untuk Konglomerat.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H