Suplemen: Saya sengaja Copas untuk memperkuat Artikel
Tentang Oposisi
Oppnere (Latin artinya menentang, menolak, melawan, menanti posisi, tersimpan); Opponere diinggriskan menjadi Opposition. Opposition (dan juga out of position) sederhananya adalah oposisi serta 'ada di luar posisi;' bisa juga bermakna sesuatu, seseorang, kelompok yang baik berada di luar.
Posisi atau berada di luar tersebut sebagai 'simpanan' atau 'cadangan' untuk menempati serta ditempatkan pada/di/dalam posisi sesuai kebutuhan. Jadi, sebetulnya oposisi tidak bermakna negatif atau pun sesuatu yang tak membangun.
Oposisi Politik
Entah sejak kapan kata 'oposisi' hanya terpakai, terpaksa, dipergunakan, dimaknai, serta dihubungkan dengan ranah politik. Padahal, secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Politik tidak lagi terbatas pada seni memerintah agar terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat polis; melainkan lebih dari itu.
Politik juga merupakan kegiatan (rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi) yang dilakukan politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain ataupun kelompok, sehingga pada diri mereka (yang dikuasai) muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas (walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu).
Dalam frame politik itulah, maka oposisi dimaknai sebagai kelompok (utamanya Politisi dan Partai Politik di Parlemen) yang tidak memiliki kekuasaan dan kedudukan di Pemerintah dan Pemerintahan (misalnya di Kabinet).
Kemudian, oposisi hanya dimaknai sebagai orang, kelompok, Politisi, dan Parpol yang menentang dan mengkritik pendapat, kebijaksanaan, dan kebijakan politik pemerintah. Dengan itu, oposisi mengalami 'pengkerdilan' makna sebagai sikap asal kritik, menentang, dan melawan kebijakan pemerintah.
Bogor, Jawa Barat | Kehangatan sikon politik Nusnatara sudah mereda, bahkan menjurus ke dingin, adem, serta penuh cerah ceria. Semuanya itu bisa terjadi karena Jokowi-Ma'ruf 'menarik gerbong utama lawan politik' mereka ke dalam lingkaran pemerintah.
Masuknya Prabowo Subianto ke dalam lingkaran pemerintah, bahkan pada salah satu jabatan yang sangat strategis, membuat banyak orang, termasuk saya, menilai akan berdampak pada reda serta meredanya suara-suara miring dari kelompok anti pemerintah. Ternyata tidak.
Memang setelah Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, dan ia terlihat lebih tenang dan wise menyikapi keputusan politik pemerintan (karena ia ada di dalamnya), sejumlah tokoh dan organ pendukungnya sesaat, sekitar dua bulan, berdiam diri, nyaris tanpa komentar, bahkan seakan bisu kontemporer.Â
Mereka, mungkin saja, hanya protes dalam hati, atau bahkan tak punya pilihan lain, kecuali berhenti berteriak serta berseru negatif terhadap pemerintah; kecuali satu dua  orang yang masih lancang di TV (Note: Yang lancang di TV, ya itu-itu juga; karena tidak memiliki Orientasi Politik yang jelas, serta miskin wawasan kebangsaan. Sehingga sulit membedakan antara kritik, kritisi, opini, mencela, mengfitnah, serta menebar hoaks politik, dan sejenis dengan itu).
Nah. Bisa disebut bahwa, setelah Prabowo (dan beberapa teman kepercayaannya) masuk ke dalam lingkaran pemerintah, maka 'kalangan oposisi' kehilangan tokoh utama atau sentral, mereka kehilang kiblat, atau pun tidak ada lagi 'pusat di luar kekuasaan' untuk berhadapan dengan pemerintah. Oposisi telah lumpuh total.
Ya. Oposisi kehilangan sosok yang bisa mengganti posisi Prabowo; bahkan di antara mereka, para oposan tersebut, tokoh, politisi, atau pun parpol sepertinya tidak mampu untuk menyatukan diri, mereka tercerai-berai. Mungkin hanya sementara? Mungkin saja.
Tapi, nanti doeloe; orang-orang dan rombongan, dengan beragam kepentingan, yang tadinya mendukung Prabowo, ternyata mulai melakukan gerakan baru, mereka terlihat sebagai benih yang sedang bertumbuh; kemudian pelan dan pasti menjadikan Gubernur DKI Jakarta sebagai 'kiblat baru pergerakan oposisi,' walau ia belum bisa disebut sebagai 'pusat di luar kekuasaan.'
Paling tidak, hal tersebut terlihat pada saat sejumlah warga melakukan aksi 'melawan' Gubernur DKI Jakarta karena tidak becus mengurus Jakarta.Â