Dari publikasi di berbagai Media Nasional, tuntutan Tim Prabowo-Sandi yang diajukan ke MK sebagai berikut: Â Â
- Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
- Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden, Anggota DPRD, DPD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Nasional di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019.
- Menyatakan Capres Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif.
- Membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil nomor urut 01, Presiden H Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai Peserta Pilpres 2019.
- Menetapkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor urut 2 H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.
- Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk seketika untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2014.
- atau: Memerintahkan Termohon (KPU-red) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.
Silahkan melakukan telaah terhadap butir-butir tuntutan tersebut; jika anda meresa atau menilai ada yang aneh dan tak masuk akal, maka kesampingkan lah. Misalnya, (i) nomor 2 dan 5 dan 6, membatalkan hasil perhitungan suara, tapi mentetapkan PS sebagai Presiden dan Wakil Presiden.Â
Apa dasar penetapan tersebut? (ii) nomor 3, dari mana bukti-bukti kecurangan yang TSM? (iii) melakukan pemungutan suara ulang; lha jika kecurangan TSM, seperti dituduhkan, maka yang harus diulang adalah proses dari awal atau nol; mulai pendaftaran pemilih, seleksi caleg, bahkan seleksi capres/cawapres.
Dan, anggap saja, semua keanehan yang anda temukan, adalah benar; coba masuk dalam pikiran mereka; dan 'untuk sementara' setuju dengan tuntutan di atas.
##
Selain hal-hal di atas, berdasarkan jejak digital, Tim PS, secara tidak langsung, sebetulnya telah mengecilkan serta 'menghina' MK. Mereka menyebut MK sebagai Mahkamah Kalkulator serta menyebut  pemerintah sekarang sebagai Rezim dan Rezim Korup.Â
Penyebutan seperti itu, sebetulnya bisa menjadikan (tuntutan) mereka ditolak. Sebab, bagaimana mungkin mereka mempercaya langkah dan perjuangan hukum dan keadilan pada institusi yang telah mereka rendahkan, hina, dan tidak percayai?
Aneh khan. Tapi biarlah.
##
Menurut jadual yang beredar di Nitizen, MK (akan) melakukan persidangan pertama pada tanggal 14 Juni 2019. Menurut prediksi saya, akan terjadi hal-hal yang krusial; (i) Â persidangan pertama ini (akan) diringi oleh dukungan massa di luar gedung MK; mereka melakukan aksi, bergerak, dan berseru agar MK menerima gugatan yang diajukan Tim PS, (ii) MK menolak gugatan yang diajukan Tim PS; dan persidangan dihentikan, selanjutnya urusan KPU, (iii) MK menerima gugatan Tim PS, dan persidangan dilanjutkan sesuai jadual.
Agaknya apa pun keputusan MK pada persidangan pertama, 14 Juni 2019, tetap saja krusial serta berdampak pada pergerakan massa selanjutnya atau hal-hal yang di luar dugaan. Penyebabnya adalah,
- pada persidangan pertama, jika ada pergerakan dan pengerahan massa di luar gedung MK, selama berlangsungnya persidangan, dan mereka mendapat info bahwa gugatan Tim PS ditolak oleh MK, maka bisa memicu marah, amarah, bahkan bringas
- MK menerima gugatan Tim PS dan melanjutkan persidanggan; maka setiap ada persidangan di MK, ada pengerahan massa pendukung PS. Jika itu terjadi, maka massa pendukung Jokowi-MA pun (akan) turun ke jalan, melakukan aksi tandingan dengan alasan 'menjaga kemenangan Jokowi-MA'Â
- Selanjutnya, selama ada persidangan di MK, ada dua kelompok massa yang berhadapan di sekitar gedung MK. Dan, jika aparat tidak hati-hati, bisa terjadi bentrok antar dua kelompok tersebut, (Note: belajar dari persidangan kasus Ahok, dua kelompok saling berhadapan di lau area Pengadilan atau tempat persidangan; namun Polisi membuat  garis pisah sepanjang 100 meter)
- Keadaan seperti di atas, akan terus menerus terjadi, dan puncaknya pada hari atau saat keputusan terakhir dari MK. MK akan memutuskan, seperti tahun 2014, siapa yang menjadi pemenang Pilpres RI 2019. Keputusan tersebut akan membawa suka cita dan gembira pada kelompok yang menang atau dimenangkan. Sebaliknya, pada kelompok yang kalah, akan marah; karena merasa keputusan di MK tersebut tidak adil, curang, rekayasa, dan lain sebagainya. Jika tidak hati-hati, maka kelompok yang kalah itu, akan menjadi bringas.
###
Lalu, bagaiamana posisi anda dan saya? Siapa pun anda (yang baca), saya pastikan ada dalam posisi keterpihakan pada Jokowi-MA atau Prabowo-Sandi; keterpihakan tersebut tentu dengan berbagai alasan. Dan, bisa saja terjadi, dalam militansi keterpihakan itu, anda dan saya, tidak bisa menerima pasangan yang didukung kalah atau dikalahkan MK sesuai bukti-bukti di persidangan.
Sikon 'tidak bisa menerima' tersebut, bisa saja membuat anda dan saya ikut terjun ke area gerakan dan aksi 'penolakan' Â terhadap kekalahan. Itu juga bisa bermakna, Â hal-hal krusial, yang saya sebut diatas, akan terus berlanjut menjadi 'sesuatu yang lebih besar.'
Oleh sebab itu, untuk menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan kesatuan bangsa akibat kalah-menang Pilpres, perlu kesiapan diri secara dewasa untuk menerima keputusan MK. Toh, siapa pun yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden, mereka adalah pemimpin untuk semua.
Namun, bisakah kita bersifat dewasa?
Opa Jappy | Indonesia Today
Artikel Terkait: Supremasi Tekanan Massa
#10JUNI9TahunIHI #10JUNI9TahunKomunitasIndonesiaHariIni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H