Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Jadikan Seseorang sebagai Guru Honor

4 Mei 2019   16:44 Diperbarui: 30 Januari 2022   11:02 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga Catatan Awal

Pertama, Tentang Guru.
Proses pendidikan, tak bisa lepas dari Guru dan Sang Guru; guru adalah tongkat pegangan, agar peserta didik ketika menelusuri jalan berliku, kecil, dan bebatuan, hingga mencapai tujuan. Ia juga adalah kuci dan anak kunci; dengan kunci itu, ia mebukan pintu berpikir, sehingga peserta didik melihat bentangan semesta pengetahuan, kemudian masuk ke dalamnya.

Guru adalah motivator, dan juga meletakan puzle-puzle pengetahuan ke dalam diri anak didik, dan mereka bersama, ketika berhasil membentuknya, akan  menemukan bangunan indah; bangunan hidup dan kehidupan, [Ketika Guru Berjalan Bersama Murid-muridnya, Opa Jappy 2014; Lengkapnya, Klik].

Kedua, Proses jadi guru honor.
Berdasar pengalaman, seseorang menjadi Guru Honor atau diangkat menjadi guru honor, bukan karena keputusan pemerintah, dhi, Dinas Pendidikan (Kecamatan, Kabupaten maupun Propinsi) atau pun Kementerian Pendidikan; apalagi  aparat Pemda.

Biasanya, pihak sekolah (Kepala Sekolah), karena kebutuhan dan kekurangan tenaga guru, mengangkat tenaga guru honorer; dan sering kali tanpa persetujuan Dinas Pendidikan.

Mereka, para guru honor tersebut, diberi tugas dan tanggung jawab layaknya guru PNS, namun honornya beda. Gaji para guru honor biasanya muncul dari (dulu) iuran BP3 (atau kini Komite Sekolah) dan anggaran sekolah, [Mengangkat dan Menjadikan Seseorang Menjadi Guru Honorer, Opa Jappy 2014, Klik].

Ketiga, Honor Guru Honor.
Guru; ya guru, profesi mulia, namun honor yang ia dapat, tak lebih dari gaji buruh kasar; utamanya, mereka yang berstatus 'guru honor, [Honor Guru Honor, Opa Jappy, 2012, Lengkapnya, Klik].

Dokumentasi Noldy Rumuat | Soreh Hari di Pantai Sulut
Dokumentasi Noldy Rumuat | Soreh Hari di Pantai Sulut
Tiga catatan di atas, adalah penggalan kisah sedih pengaduan guru honor. Ternyata, hingga kini, keadaan guru honor atau GH nyaris tidak berubah. Mereka tetap seperti masa lalu; bahkan di beberapa tempat, mereka meneri honor pada tanggal 35, 40, atau bahkan tanggal 60. Tragis.

Walau sikonya seperti itu, tetap saja lulusan PT, termasuk mereka yang tidak pernah belajar bagaimana mengajar dan seluk beluknya, ingin menjadi guru PNS melalui 'jalur jadi' GH. Diiringi dengan harapan dan janji 'akan diangkat jadi guru tetap atau PNS.'

Dan, karena harapan dan janji itulah, maka di berbagai pelosok Tanah Air, selama bertahun-tahun tetap mengabdikan diri di sekolah, dalam kelas, mengajar, serta melakukan tugas-tugas edukasi lainnya.

Sementara itu, mekanisme dan proses 'menjadikan GH sebagai Guru PNS atau Guru Negeri,' sering berubah-ubah, seiring dengan pergantian pemerintah atau Pusat Kekuasaan serta kebijakan kementerian yang membidangi pendidikan.

Dulu, masa yang telah lewat, pengankatan guru merupakan domain Kementerian Pendidikan. Sehingga, terjadi penyebaran guru ke berbagai daerah. Misalnya saya yang sekolah di Kampung, diajar oleh guru Etnis Batak, Jawa, Padang, Ambon, dan lain-lain.

Pada sikon itu, para GH, jika mau jadi Guru Negeri, maka ia diangkat oleh Kementrian, dan ditempatkan atau disebar ke berbagai wilayah di Tanah Air.

Pada perkembangan kemudian, ketika ada Otonomi Daerah berbasis di Kabupaten dan Kota; urusan pendidikan, sekolah, dan guru menjadi domain Bupati atau Walikota.

Perubahan itu, juga berdampak pada proses pengangkatan GH menjadi Guru Negeri. Banyak GH yang sudah Lama mengajar, karena alasan usia, tidak bisa menjadi Guru Negeri.

Setelah itu, sesuai kebijakan pemerintah, ketika urusan pendidikan menjadi urusan Pemda Provinsi, pengangkatan GH menjadi Guru Negeri pun bertambah rumit dan carut marut. Ujung-ujungnya, mereka, para GH tersebut, hanya diberi impian dan harapan kosong.

Itulah fakta yang terjadi. Sekolah membutuhkan GH, namun Kementerian terkait tidak mampu menatakelolanya, sehingga di Negeri ini, ada puluhan atau mungkin ratusan ribu GH yang penuh pengabdian, tapi mendapat upah sangat tidak layak.

###

Hal-hal di atas, yang sementara terjadi, sehingga memperbanyak GH; sekaligus memperpanjang waktu pengabdian mereka sebagai GH.

Lalu, ada yang bertanya pada saya tentang bagaimana mensejahterahkan GH; jawabanya adalah, (i) stop jadikan seseorang menjadi GH, dan (ii) angkat semua GH, berapa pun usianya sekarang, menjadi Guru Negeri.

Proses tersebut, (i dan ii) harus terjadi sekarang bukan nanti, oleh Sekolah dan Kementerian terkait.

Cukup lah

Opa Jappy | Mantan Guru Honor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun