Sementara itu, mekanisme dan proses 'menjadikan GH sebagai Guru PNS atau Guru Negeri,' sering berubah-ubah, seiring dengan pergantian pemerintah atau Pusat Kekuasaan serta kebijakan kementerian yang membidangi pendidikan.
Dulu, masa yang telah lewat, pengankatan guru merupakan domain Kementerian Pendidikan. Sehingga, terjadi penyebaran guru ke berbagai daerah. Misalnya saya yang sekolah di Kampung, diajar oleh guru Etnis Batak, Jawa, Padang, Ambon, dan lain-lain.
Pada sikon itu, para GH, jika mau jadi Guru Negeri, maka ia diangkat oleh Kementrian, dan ditempatkan atau disebar ke berbagai wilayah di Tanah Air.
Pada perkembangan kemudian, ketika ada Otonomi Daerah berbasis di Kabupaten dan Kota; urusan pendidikan, sekolah, dan guru menjadi domain Bupati atau Walikota.
Perubahan itu, juga berdampak pada proses pengangkatan GH menjadi Guru Negeri. Banyak GH yang sudah Lama mengajar, karena alasan usia, tidak bisa menjadi Guru Negeri.
Setelah itu, sesuai kebijakan pemerintah, ketika urusan pendidikan menjadi urusan Pemda Provinsi, pengangkatan GH menjadi Guru Negeri pun bertambah rumit dan carut marut. Ujung-ujungnya, mereka, para GH tersebut, hanya diberi impian dan harapan kosong.
Itulah fakta yang terjadi. Sekolah membutuhkan GH, namun Kementerian terkait tidak mampu menatakelolanya, sehingga di Negeri ini, ada puluhan atau mungkin ratusan ribu GH yang penuh pengabdian, tapi mendapat upah sangat tidak layak.
###
Hal-hal di atas, yang sementara terjadi, sehingga memperbanyak GH; sekaligus memperpanjang waktu pengabdian mereka sebagai GH.
Lalu, ada yang bertanya pada saya tentang bagaimana mensejahterahkan GH; jawabanya adalah, (i) stop jadikan seseorang menjadi GH, dan (ii) angkat semua GH, berapa pun usianya sekarang, menjadi Guru Negeri.
Proses tersebut, (i dan ii) harus terjadi sekarang bukan nanti, oleh Sekolah dan Kementerian terkait.