'Jokowi Curang'
Tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, ketika Jokowi berjuang untuk menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, tidal ada tuduhan dan tudingan kepadanya sebagai pelaku kecurangan politik.
Tahun 2014, pasca kemenangan Jokowi-JK, utamanya setelah MK menolak gugatan Capres/Cawapres yang kalah Pilpres, mulai muncul tuduhan bahwa terjadi kecurangan sehingga menang. Tuduhan tanpa alasan serta bukti tersebut, terus menerus dinarasikan hingga sekarang.
Namun, para penuduh dan penuding tersebut tidak pernah memberi bukti yang jelas tentang bukti kecurangan tersebut. Mereka berteriak keras untuk melakukan penyesatan publik.
Tahun 2019, utamanya pasca Pilpres 17 April 2019, narasi 'Jokowi Curang' terulang kembali. Narasi Jokowi Curang, yang tersebar pra 17 April 2019, semakin membahana setelah para elite Capres/Cawapres yang kalah karena melihat hasil quick count. Bahkan, ada petinggi Parpol yang mentwit hal tersebut.
Seiring dengan narasi 'Jokowi Curang' tersebut, muncul juga orasi serta gerakan-gerakan provokativ agar rakyat menolak hasil Pilpres. Sayangnya, seperti yang sebelumnya, mereka yang berseru 'Jokowi Curang' itu, hanya lantang di Medsos, tapi tidak memberi bukti dan fakta.
Dan semuanya itu justru merangsang publik melakukan kontra dan gerak perlawanan dengan cara mereka sendiri. Publik yang sangat gerah dengan narasi kebencian dari Kelompok Kalah, secara pelan mempublikasi hasil dapatan mereka yang membuktikan bukan Jokowi yang curang dan melakukan kecurangan.
Aparat Keamanan Perlu Tindakan yang Sangat Tegas
Dari hal-hal di atas, terlihat bahwa narasi 'Jokowi Curang,' merupakan bagian dari upaya merusak kepercayaan rakyat pada Presiden, penyesatan publik, provokasi dan hasutan, dan ujar kebencian. Hal-hal seperti itu, jika dibiarkan, akan menimbulkan kerusuhan sosial serta merusak Kesatuan Bangsa dan Negara.
Oleh sebab itu, menurut saya, Aparat Keamanan perlu langsung bertindak tegas, tidak pakai Lama, atau pun laporan publik.
##
Semoga