######
Siapa Mereka?
Sekali lagi, berdasar survei CSIS, siapa sekitar 13 juta yang (akan) berlibur tersebut? Mereka, jelas WNI, namun warga negara model apa?
Sejak dimulainya Pilpres langsung, menurut saya, mereka 'minggat ke tempat lain (di Dalam dan Luar Negeri) telah terjadi. Tapi, pada Pilpres 2019 ini, banyak orang tidak menduga jumlahnya mencapai 13 juta orang.
Bisa jadi, belajar dari pengalaman 'ketakutan psikologis' di Pilkada DKI Jakarta, maka semakin banyak orang memilih berlibur daripada datang ke TPS. Pada waktu Pilkada DKI Jakarta, saya dengar langsung dari mereka ketika melakukan tatap muka di Jakarta Barat, Utara, dan Selatan. [Pilkada terburuk dan tak bermoral yang pernah terjadi Indonesis].
Ok lah. Lalu, siapa mereka? Secara geografis atau pun wilayah, tentu saja bukan melulu warga DKI Jakarta; pastinya dari berbagai daerah.
Selain itu, agaknya ke 13 juta orang pemilik suara yang (akan) berlibur tersebut datang dari kelas menengah ekonomi atau pun level di atasnya; namun bukan kelas menengah yang sekaligus aktivis politik.
Sebab, pada bidang politik, kelas menengah yang aktif di Parpol maupun tidak, nyaris mempunyai kesamaan yaitu kritis dan kritisi terhadap apa serta siapa pun. Hal tersebut, tidak lepas dari perilaku politik kelas menengah. Selain dominan jumlah, kelompok demografis ini memiliki kekhasan perangai yang membuat politik elektoral semarak, berisik, sekaligus menegangkan.
Jadinya, dari 13 juta orang yang (akan) berlibur pada Pilpres 17 April 202l19, tidak banyak dari kalangan menengah ekonomi dan politik.
Lalu, siapa mereka? Sulit menjawab dengan pasti. Namun, jika saya bandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta, maka ada 'kesamaan' dengan ke 13 juta orang yang (akan) berlibur tersebut, yaitu mereka yang:
- berusia di atas 60 tahun
- memiliki ketakutan psikologis, takut jadi korban kerusuhan
- tidak mau dipaksa memilih calon tertentu, yang berbeda dengan pilihan hati
- menilai siapa pun Presiden RI, ia putera bangsa yang terbaik
- biarkan orang lain memilih, siapa pun dia, sebagai rakyat harus menerima
- sama sekali tida mau berurusan dengan politik, termasuk Pemilu dan Pilpres.
- dan, mungkin masih ada alasan lain.
Jika dengan alasan-alasan seperti itu, walau cuma 7% dari seluruh jumlah pemilih tetap pada Pileg dan Pilpres, sudah merupakan peringatan keras kepada institusi politik dan proses demokrasi di Indonesia; utamanya hal-hal yang berhubungan dengan Pilkada, Pileg, dan Pilpres.