Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teluk Labuan Pandeglang, Sebulan Setelah Tsunami

28 Januari 2019   13:01 Diperbarui: 28 Januari 2019   14:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seputaran Universitas Indonesia, Depok-Jabar | Sebelum 22/23 Desember 2018, kita, anda dan saya, pernah mengunjungin area kuliner sea food di Labuan, Pandeglang Banten? Jika jawabannya "Ya," maka tentu masih ingat suasana indah dan romantis diringin desiran angin pantai di tempat tersebut. Mungkin, dalam kenangan tersebut, duduk di tepian dermaga denggan ombak pantai yang tenang, sambil menyantap aneka hidangan ikan, kerang, udang dan lain-lain.

Area pelabuhan nelayan, pelelangan ikan, dan kuliner tersebut, tepatnya di Jalan Perikanan 2, Teluk Labuan, RT 01/RW 11 Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, setelah diserang tsunami pada Desember tahun lalu, kini yang tersisa adalah hamparan kosong serta puing-puing. Aktivitas nelayan, terhenti; lapak-lapak kuliner laut, tak berbekas; perahu-perahu nelayan yang membongkar ikan hasil tangkapan, tak terlihat; aroma ikan bakar, tidak ada; dan seterusnya.

Di lapangan terbuka, yang sebelumnya ada lapak-lapak ikan, kini menjadi arena bermain anak-anak, ibu-ibu atau isteri nelayan duduk-duduk sambil menatap kosong ke arah laut dan awan. Area parkir yang biasanya padat, kini cuma satu dua, praktis, area wisata kuliner Labuan, seakan wilayah sunyi dan sepi, tanpa kegiatan yang berarti. Sekitar jam 19.00, sudah seperti tengah malam, nyaris tak ada pergerakan orang.

Di atas, merupakan rekaman singkat yang saya (dan teman-teman) alami, rasakan, lihat di area wisata kuliner di Teluk Labuan, Pandeglang Banten. Kemarin, Saptu 26 Januari 2019, kami sengaja ke area tersebut untuk melihat sikon setelah satu bulan tsunami menyerang pantai Banten yang berhadapan dengan Sang Krakatau.

Secara acak, sejumlah nelayan (termasuk isteri dan anak-anak mereka) yang kami wawancarai, umumnya menyatakan bahwa pasca musibah kehidupannya semakin sulit, suaminya yang biasa melaut saat ini hanya menjadi pemulung barang rongsok. Perahu  hancur hingga tidak bisa melaut lagi. Sekarang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari suami saya banting tulang menjadi pemulung.

Juga, mereka yang tadinya berusaha sebagai penjual ikan, kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena modal kerja habis, serta tidak adak ada ketersediaan ikan. Mereka pun berharap agar ada pihak lain, termasuk relawan dan pemerintah memberi bantuan ke/pada para nelayan sehingga mereka dapat kembali berusaha.

Kunjungan pada Sabtu 26 Januari 2019 tersebut, bukan hanya untuk melakukan 'pengamatan dan pendataan, dalam rangka pemulihan pasca bencana;' namun sekaligus membawan bantuan Tahap II dari komunitas Indonesia Hari Ini atau IHI yang dikoordinir oleh Nartiyatum dari IHI Tanggap Bencana. Bantuan berupa perlengkapan sekolah, diserahkan langsung oleh Opa Jappy (Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini) ke/pada anak-anak nelayan (korban tsunami) di "Rumah Pintar" Anak Nelayan, Teluk Labuan, Pandeglang, Banten.

Dokpri | Penyerahan Bingkisan
Dokpri | Penyerahan Bingkisan
Perlu Pemulihan Ekonomi

Melihat sikon satu bulan pasca bencana tersebut, kepada para pewarta, saya sampaikan bahwa, "Kita telah melewati bantuan awal pasca bencana yang bersifat evakuasi dan menyelamatkan korban, atau penyelamatan nyawa dan menyembuhkan luka-luka serta pemulihan trauma. Kini, saatnya lakukan pemulihan ekonomi. Oleh sebab itu, perlu peran serta banyak komponen masyarakat serta pihak terkait, termasuk oleh para pengusaha. Misalnya, bantuan modal usaha; full bantuan, tanpa bunga, cicilan ringan, dan lain-lain."

Selain hal di atas, ketika pemulihan ekonomi tersebut belum berjalan (karena masih berbenturan dengan pendataan, skema bantuan, besaran modal, dan persyaratan administrasi lainnya) maka hendaknya, ada semacam gerakan bantuan yang  bersifat kharitas kepada korban bencana berupa perlengkapan pendidikan, dana renovasi rumah, perbaikan perahu nelayan, dan modal usaha. Serta, upaya cepat dari Pemda untuk memperbaiki sarana penunjang kebutuhan dasar seperti pasar, puskesmas, sekolah, dan tempat ibadah; termasuk pembersihan sampah sisa-sisa bencana yang menumpuk di area sungai dan muara, dan area terbuka lainnya.

Sementara itu, untuk memulihkan kembali kegiatan wisata kuliner di Labuan, Ade Ferdijana dari Insan Pariwisata Indonesia, yang juga ikut dalam rombongan, menyatakan bahwa membuka kembali lokasi tersebut sebagai area wisata kuliner. Namun, ketika ditanya tentang bagaimana mungkin para pedagang kembali beraktivitas, sementara mereka tidak mempunyai modal awal. Menurut Ade itu masalahnya, oleh sebab itu perlu program dan skema bantuan (tanpa pengembalian atau dengan cicilan ringan, atau tanpa bunga) kepada mereka.

Selain itu, juga menurut Ade Ferdijana, ketika mau membuka ulang area kuliner, maka ini ada kesempatan terbaik untuk menata tata letak lapak-lapak pedagang sehingga terlihat rapi, saluran air, dan juga peletakan bak sampah, dan lain sebagianya.

Hal yang sama, juga disampaikan oleh Nartiyatum, koordinatoir IHI Tanggap Bencana, bahwa bantuan barang dan sembako, hanya bersifat sementara; yang penting adalah pemulihan ekonomi. Sebab, agar para korban tidak tergantung pada bantuan dari luar. Dengan demikian, menurut Narti, sesuai dengan Opa Jappy, perlu keterlibatan semua pihak untuk memulihkan sikon ekonomi para korban tersebut.

Dokpri
Dokpri
##

Semuanya yang di atas, hanya dari satu wilayah bencana, bagaimana dengan daerah lainnya? Sebelum menulis artikel ini, saya melakukan diskusi virtual dengan banyak teman melalui grup WA dan juga telpon langsung, umumnya hal yang sama terjadi seperti di Labuan, Pandeglang Banten. Kesamaan itu adalah adanya tumpukan bantuan awal, yang kadang berlebihan di lokasi bencana; itu terjadi pada sekitar 7 hari pasca bencana.

Setelah itu, mereka yang selamat dari bencana, kembali daerahnya (yang tersisa puing-puing), langsung berhadapan dengan berbagai hambatan dan kesulitan baru, utamanya adalah usaha-usaha untuk melanjutkan hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu, ketika bantuan awal pasca bencana selesai, termasuk menyediakan perumahan, air bersih, pendampingan psikologis; maka harus dilanjutkan dengan hal-hal lain yang bersifat pemulihan ekonomi.

Dengan demikian, sangat pemulihan ekonomi dalam rangka kelangsungan hidup dan kehidupan, namun seringkali terlupakan oleh Pemda yang wilayahnya mengalami bencana. Seorang teman dari daerah bencana menyatakan bahwa, agaknya Pemda masih berputar-putar pada bantuan awal, yang penting korban selamat, dan selesai; kemudian, rakyat dibiarkan usaha sendiri untuk melanjutkan hidupnya. 

Nah.

Dokpri | Senyum Anak Nelayan Labuan, Pandeglang
Dokpri | Senyum Anak Nelayan Labuan, Pandeglang
Lalu, di mankah kita?

Monggo, jika anda ingin melibatkan diri pada Pemulihan Ekonomi Korban Bencana, bergabung bersama kami di IHI Tanggap Bencana, WA ke +62812 860 32 120

Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini - IHI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun