Sama-sama berupaya dan menunjukkan ke hadapan publik bahwa pihaknya yang benar, sebaliknya lawan selalu salah. Efektif kah? Beberapa teman dari pihak Jokowi MA pada intinya mengatakan, "Ini cuma serangan balik, dan bukan gaya kami melawan kejahatan dengan kejahatan." Nah.
Apa pun itu, dari kedua kubu Capres/Cawapres, orasi dan narasi kegaduhan serta serangan baliknya, menurut saya, dua-duanya tidak efektif, walau menurut sejumlah pakar, bisa menguatkan kualitas demokrasi. Namun, menurut saya, bisa  menguatkan demokrasi itu, jika terjadi pada negara-negara yang rakyatnya rata-rata mempunyai tingkat pendidikan diatas SMA/K atau menengah atas. Atau, rakyat yang sudah memiliki kecerdasan politik serta terbiasa dengan perbedaan yang tanpa konflik.
Dengan demikian, politik dan kampanye gaduh serta kegaduhan, pada sikon perpolitikan di Indonesia, bukan sebagai upaya peningkatan mutu demokrasi, melainkan menanam, menumbuhkan, menyuburkan, memelihara, dan mendewasakan perpecahan bangsa. Di sini, jika terjadi, maka setelah Pilpres (atau pun Pilkada dan Pemilu), perpecahan tersebut, (akan) terus-terus menerus ditumbuhkembangkan menjadi gap sosial, sentimen golongan dan idiologi. Paling tidak, kita mempunyai contoh tentang Jokowi vs Prabowo; pendukung keduanya, Â sejak tahun 2014, nyaris tidak berubah, dan tetap berseteru.
Oleh sebab itu, kini tahun 2019, saya dan banyak orang sangat mengharapkan setelah pertarungan 17 April 2019, tidak ada lagi pemisahan tersebut. Caranya? Cuma ada satu, yaitu buang orasi dan narasi gaduh serta kegaduhan.
##
Akhir kata, untuk kedua pasangan Capres/Cawapres, asal tahu saja, rakyat sudah muak dengan orasi dan narasi gaduh serta kegaduhan. Jadi, stop lakukan hal tersebut.
Opa Jappy | Pendiri dan Pembina Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H