Tentang Kerajinan Cuklik
Anda pasti sudah pernah mendengar, dan paham benar tentang 'cungkil;' namun, sudah pernah tahu kata 'cukli' atau 'cuklik?' Ya, benar. Seperti dalam pikiranmu saat ini, cukli atau cuklik (selanjutnya saya gunakan kata cuklik), merupakan proses pembuatan (kata kerja) sekaligus hasil kerja (kata benda) yaitu (kulit) kerang yang dibentuk, diukir (atau dicuklik) menjadi hiasan atau perhiasan.
Aslinya, cuklik atau kerajinan tangan membuat cuklik merupakan hasil karya, warga Desa Sesela, Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, namun kini hampir merata. Dalam artian banyak komunitas atau pun penduduk di pulau Lombok, membuat cuklik, karena memiliki nilai ekonomi yang memadai.
Belakangan, bahan baku cuklik, tidak terbatas pada kulit keong atau kerang besar, melainkan juga batu cadas, marmar, kayu, bahkan kulit (pembungkus) mutiara, dan lain sebagainya, yang bisa dibentuk atau dipahat oleh pengrajin. Hasilnya, atau cuklik tersebut tidak lagi terbatas sebagai anting-anting, kalung, dan gelang; melainkan dibentuk sebagai kaki meja, bagian-bagian kursi, tempat tidur, lemari, asbak, tempat tisue, bahkan pintu rumah, dan lain sebagainya.
Ternyata, cuklik juga memiliki nilai filosofi yang tinggi; seorang teman dari/dan di Mataram, melalui percakapan virtual, menyatakan bahwa,
"Cuklik bukan melulu karena keindahan yang dibuat oleh tangan manusia, namun lebih dari itu. Pada proses membuat cuklit, seseorang memilih atau mengambil benda-benda yang sudah tidak terpakai atau terbuang, misalnya kerang, kayu bekas, batu cadas, kulit keong, kemudian mengcungkil atau menculik, sehingga menjadi indah.
Itu juga bermakna bahwa, seseorang bisa membuat orang lain terlupakan, tiada berdaya, tak berderajat, membentuknya jadi bermakna, orang yang berguna, serta berderajat, atau menjadi sukses."
Jadi, di balik keindahan cuklik, serta nilai ekonminya, ada proses pembentukan jati diri dan eksistensi seseorang. Ia dibangun, dibentuk, serta diproses dari 'bukan siapa-siapa, menjadi siapa-siapa.' Dengan itu, cuklik sekaligus merupakan proses menjadikan sesuatu menjadi indah dan sedap dipandang.
Cuklik adalah hasil seni dan kerajinan tangan di Lombok, NTB, namun ada juga Rumah Cuklik di Jabar, tepatnya Ciburayut, Cijeruk Kab. Bogor. Bagaimana bisa ada di sana? Penasaran, mari ikuti hasil 'mengembara' di Rumah Cuklik, bukan di Lombok NTB, namu di Bogor.
Pemiliknya adalah Agun Gunandjar Sudarsa, politisi Golkar, yang juga Ketua Fraksi Golkar di MPR RI. Ketika memasuki gerbang rumah, saat itu Agun sementara 'ngumpul bareng' sejumlah tamu di area terbuka, ia langsung berseru, "Selamat Datang Opa Jappy di Rumah Cuklik." Â Suatu sambutan yang antusias, hangat, serta penuh persahabatan.
Setelah sejenak bersama-sama teman-teman dari Forbin, saya pun mulai melakukan eksplores untuk menemukan cuklik di Rumah Cuklik Bogor, ternyata tidak ada penculik dan hasil menculik berupa cuklik warna-warni yang indah dan mahal. Â Saya pun bertanya kepada tuan rumah, Agun Gunandjar Sudarsa, mengapa disebut Rumah Cuklik?
Jawabannya, sama persis dengan teman saya di Mataram; menurut Agun, "Di rumah Cuklik, ada proses membentuk orang sehingga ia jadi." Selanjutnya Caleg Golkar untuk Dapil Bogor dan sekitarnya, sejak beberapa tahun silam di Rumah Cuklik ada proses membentuk insan Indonesia yang berkualitas. Puluhan anak-anak (ada juga yang sudah menjadi PNS di berbagai instansi), dibentuk, dididik, ditempa sehingga berhasil, untuk Negara, Bangsa, dan Agama.
Jadi, secara tersirat, walau tidak ada pahat, palu, keong, kerang, batu casa untuk menculik, namun sejatinya, di Rumah Cuklik, ada atau terjadi proses mencuklik; bukan mencuklik benda-benda mati, melainkan menghidupkan yang sudah hidup, sehingga mereka lebih bermakna pada hidup dan kehidupan.
Karena proses itulah, maka di kompleks Rumah Cuklik, ada berbagai fasilitas edukasi, ruang pertemuan, perpustakana, dan tempat ibadah, bahkan area rekreasi. Â Dengan itu, Rumah Cuklik Bogor, bukan sekedar arena pembentukan karakter, namun juga arena belajar, piknik, ibadah, dan pendidikan politik. Lengkap deh.
Juga di Rumah Cuklik, Sang Pemiliknya, memadukan nilai-nilai cuklik dan filosofi  Siliwangi, silih asah, silih asih, silih asuh yang artinya saling menajamkan pikiran, mengingatkan dan saling mengasuh; serta tidak boleh menyerah sebelum bertarung.
Itulah Rumah Cuklik Bogor, tanpa palu dan pahat, namun telah menghasilkan cuklik-cuklik yang indah, dan telah berkarya di mana-mana. Ketika di mobil sahabat saya, Andy Tirta, saya pun merenung panjang dalam diam, Agun Gunandjar Sudarsa melalui Rumah Cuklik telah menghapus 'gap' antara Anggota Parlemen dan rakyat biasa.
Dengan low profile, elagiter, merakyat, dan ada di antara orang desa, Agun memperlihatkan bahwa dirinya bukan siapa-siapa tanpa rakyat yang memilihnya. Oleh sebab itu, hasil 'jerih payah' lebih dari 20 tahun sebagai Anggota Parlemen, ia kembalikan kepada rakyat melalui Rumah Cuklik: rumah edukasi, tempat piknik, bisa beribadah, dan juga sebagai 'Rumah Politik.'
Tiba-tiba, kubermimpi, betapa indahnya, seandainya lebih dari 500 orang Anggota Parlemen memiliki rumah sejenis Rumah Cuklik. Tentu mereka (akan) lebih bermanfaat nyata di tengah rakyat, daripada berkomentar atau mengeluarkan orasi dan narasi yang tidak bermafaat serta bisa memecah belah bangsa.
Semoga, mimpi saya menjadi kenyataan.
#MonggoDatangkeRumahCuklik
Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H