Sederhananya, kampanye adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan. Kampanye bisa dan biasa dilakukan oleh/pada berbagai kegiatan; dan utamanya pada proses pemilihan pimpinan (dan pengurus) di pada organisasi tertentu (ormas, keagamaan, kegiatan sekolah, kampus, dan partai politik), dan yang paling umum dilakukan adalah pada kegiatan politik.
Dengan itu, kampanye, bisa terjadi atau dilakukan pada semua bidang, utamanya kegiatan yang bersifat mempengaruhi orang lain untuk memilih seseorang, kelompok, atau hasil produksi tertentu. Demikian juga (yang terjadi) pada Pilpres RI tahun 2019, semua calon presiden dan wakil presiden (akan) melakukan kampanye tertutup (dalam/di ruangan) dan terbuka atau area terbuka yang tanpa batas.
Isi atau muatan dalam/di pada waktu kampanye pun, wajib berisi sejumlah visi, misi, program, janji politik, dan lain sebagainya yang bersifat (upaya) menarik perhatian, mempengaruhi, dan menjadikan orang lain tertarik (dan juga memilih) orang (dan visi, misi, program, dan janji) yang dikampanyekan atau ditawarkan. Itu yang seharusnya.
Dari catatan di atas, ada hal yang penting yaitu, bisa saja terjadi, Kampanye (akan) memunculkan pemilih yang memilih (hanya) karena 'emosi politik,' ikut-ikutan, ikuti arus, berdasarkan 'provokasi politik,' dan terbuka kemungkinan 'memilih karena berapa banyak rupiah yang didapat; dan, ternyata hal seperti itulah yang mungkin saja terjadi pada Pilpres RI Tahun 2019.
Alasan tersebut, sangat beralasan, karena kedua pasangan Capres/Capres yang sementara kampanye, salah satu pasangang cenderung fokus pada 'pengerahan massa,' disertai bingkisan-bingkisan, amplop berisi uang, penggunaan ruang dan mimbar keagamaan, serta menyebarkan hoax dan ujar kebencian. Sementara pasangan lainnya, lebih pada (hanya) masuk ke titik kosentrasi pemilih atau pendukung. Mungkin saja, Tim Pemenangan kedua pasangan tersebut, menilai bahwa dengan cara 'kampanye yang tidak lazim' itulah yang bisa menarik pendukung atau calon pemilih.
Selain cara 'kampanye yang tak lazim' tersebut, saat ini, kedua pasangan Capres/Cawapres melakukan penyebaran 'logistik' kepada calon pemilih; dan itu dilakukan secara bertingkat, mulai dari komunitas, RT, RW, dan seterusnya. Bahkan, ada Tim Pemenangan melalui manajemen pengerahan massa, yang sebetulnya isinya adalah politik uang, calon pemilih di ajak piknik ke Jakarta, ziarah, dan jalan-jalan di pusat wisata, dan lain sebagainya.
Agaknya, penyebaran logistik melalui giat dan kegiatan seperti itu, terlihat cukup berguna, sehingga ada teman yang melaporkan bahwa, "Kami tak peduli dengan jejak masa lalu Capres, yang penting saya memilih dia;" kata-kata dari tetangganya. Dan, itu muncul, setelah tetangga tersebut ikut rombongan piknik.
Dengan pola seperti itu, menurut saya, jika Jokowi - MA (dan Tim Ses serta Relawan), berdiam diri dan tenang karena elektabilitas dan popularitasnya semakin meroket, akan merugikan mereka. Sebab, pola 'kampanye yang tak lazim,' tidak bisa dibantah akan mengikis hati orang-orang yang tadinya mendukung Jokowi MA. Jika itu terjadi, maka 'mimpi buruk' bagi Jokowi - MA.
Oleh sebab itu, untuk para pendukung Jokowi - MA, perlu suatu mekanisme yang cermat dan cerdas dalam rangka menyebar 'logistik' ke calon pemilih, bukan hanya oleh Tim Pemenangan, namun juga melalui para relawan (dalam organ maupun mandiri); bukan hanya kepada mereka yang bergerak di area publik atau lapangan, namun juga pada (relawan-relawan) Media Pendukung, yang main stream dan non main stream.
Tentang sebaran logistik kepada relawan tersebut, saya pernah sampaikan ke pewarta dari Kantor Berita Antara, April 2018 yang lalu. Lengkapnya adalah,
Salah satu relawan Jokowi, Jappy M Pellokila yang juga Penggagas Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi (IHI-MJ) mengakui jumlah relawan Jokowi yang sangat banyak dan militan. Tapi cuma sedikit yang teroganisasikan dengan balk, dalam arti tingkat kepengurusan organisasi atau organ yang tertata rapi.
Seringkali, organ yang sudah tertata rapi kemudian dihadapkan pada kendala pendanaan kegiatan sehingga kegiatan relawan, hanya berskala kecil dan tak terpublikasi.
Selama ini, organ-organ relawan pro Jokowi, sebagian besar melakukan kegiatannya secara swadana, swapublikasi, dan tidak memiliki sumber pembiayaan yang pasti.
Wajar jika kemudian kegiatan dan inisiatif relawan tidak terorganisasikan bahkan tidak ter "branding" dengan cantik lantaran memang tidak ada dana atau sumber logistik untuk melakukan konsolidasi.
Apa-apa yang saya dikutip Antara tersebut, beberapa jurnalis mengatakan kepada saya, justru kini dilakukan oleh Tim Ses Prabowo - Sandi. Dalam artian, walau pengakuan mereka bahwa tidak punya banyak dana untuk kampanye, namun ada saja orang-orang tidak masuk di Tim Ses, berani keluar dana untuk kegiatan relawan Prabowo-Sandi. Penyebabnya adalah, mereka punyak kesamaan yaitu, 'Asal Bukan Jokowi."
Lalu, bagaimana dengan para pendukung Jokowi;? atau, bagaimana dengan mereka yang ingin agar Jokowi tetap menjadi Presiden RI atau Jokowi Dua Periode? Menurut saya, mereka tidak hanya 'ingin' dan 'tetap ingin,' melainkan ikut aktif memenangkan Jokowi-MA; walau tidak masuk dalam Tim Ses, Tim Pemenangana, atau pun bagian dari Organ Relawan, paling tidak, ikut membantu membiayai kegiatan relawan.
Sebab, jika ingin Jokowi kembali menjadi Presiden, tidak dengan menonton kegiatan Jokowi atau pun relawan, melainkan ikut menjadi bagian, secara langsung dan tidak, untuk memenangkan Jokowi-MA.
Salam Hangat
- Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
- Gabung Tim Kontra Isu Nasional, WA ke +6281286032120
ARTIKEL TERKAIT
Kampanye dan Potensi Konflik Sosial
Betapa menyenangkan karena di dunia ada kecenderungan ke arah demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Tak kurang dari 120 negara kini telah menjalankan pemilihan umum yang jujur dan adil, dan sejumlah besar konflik internal berakhir dengan perdamaian yang dirundingkan, termasuk sistem pemilihan umum yang ditujukan untuk membangun struktur politik yang dapat diterima semua pihak. Pihak-pihak ini pun telah bersepakat untuk menghasilkan penyelesaian damai yang berkelanjutan melalui transisi demokratis.
 Kofi A. Annan, (Mantan) Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H