Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tidak (Hanya) Salahkan Korban Pelecehan Seksual

7 Desember 2018   18:01 Diperbarui: 7 Desember 2018   18:35 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini

Suplemen: Tentang Pelecehan Seksual

Beberapa perilaku yang dapat tergolong pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011), (i) pendekatan intim/seksual yang tidak diinginkan, (ii) permintaan hubungan intim/seksual yang tidak proporsional, (iii) pelecehan dengan kata-kata yang bermakna seksual, (iv) dijanjikan hadiah/promosi jika melayani permintaan seksual seseorang, (v) diancam dipecat/dipermalukan jika tidak melayani permintaan seksual seseorang atau atasan.

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011), yaitu:

  1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
  2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual
  3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir
  4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya
  5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus- menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai pendekatan seksual, permintaan seksual, perilaku verbal dan fisik yang bertujuan seksual di lingkungan kerja (EEOC, 1980). Namun perlu dipahami, bahwa pelecehan seksual tidak harus hanya bertujuan seksual, namun juga dapat bertujuan merusak kinerja seseorang di tempat kerjanya atau menciptakan situasi kerja yang mengintimidasi, keras dan penuh ancaman. Misalkan: pelecehan seksual pada seorang perempuan dengan cara memberikan komentar merendahkan tentang perempuan secara umum.

Sumber: Kanal Indonesia Hari Ini

Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini
Dokumentasi Kanal Indonesia Hari Ini
Salah satu contoh korban pelecehan seksual (oleh atasan), Baiq Nuril, justru ia yang dilaporkan ke Polisi; pengadilan memutuskan ia bersalah dan dihukum. Padahal jika menyimak fakta di Persidangan, maka seharusnya Baiq Nuri tidak dihukum. Kasus Baiq Nuril tersebut, sekali lagi, membuat publi terheran-heran karena korban pelecehah yang mendapat hukuman berdasar UU ITE. Sedangkan, pelecehan yang dialami Nuril, yang bisa menjerat pelaku dengan UU Pornografi, justru dikesampingkan.

'Lemahnya' tindakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan tersebut, seakan menjadikan para pelaku suatu kebebasan berbuat atau melakukan hal yang sama dan terus menerus. Sikon tersebut, menjadikan Indonesia telah menjadi darurat kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan.

Bahkan, menurut Komnas Perempuan menunjukkan setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, salah satunya perkosaan. Ini artinya, setiap dua jam terjadi tiga kasus. Itu juga bermakna, pelecehan seksual terhadap perempuan, bisa terjadi setiap saat, tidak mengenal waktu dan tempat, termasuk di ruang publik.

Bagaimana Menyikapinya?

Menyikapi pelecehan seksual, bukan melulu tugas aparat keamaan, melainkan semua pihak; di dalamnya termasuk mereka yang riskan menjadi korban, orang tua, pendidik, tokoh agama dan lain sebagainya. Hal tersebut, misalnya,

Pertama, adalah tentu saja bukan melulu menyalahkan perempuan; dalam artian tidak salahkan tampilan diri, cara bersikap, pakaian perempuan yang menjadi korban pelecehan. Sebab, tak sedikit perempuan berpakaian tertutup seperti biarawati di Filipina dan Amerika Latin, juga mengalami pelecehan dan perkosaan. Tetapi, yang harus disalahkan (diedukasi, diperbaiki moral, dan ditata ulang sikapnya) adalah pelaku pelecehan atau yang melecehkan perempuan. Bahkan, pejabat publik dan masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan berikutnya kepada korban dan keluarga melalui pendapat dan pandangan yang menyalahkan korban.

Kedua, kekerasan seksual termasuk perkosaan yang dilakukan baik secara individu maupun berkelompok terhadap perempuan dan anak telah mengakibatkan trauma, stigma, dan kekerasan berlapis lainnya, bahkan kematian. Kekerasan seksual itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu, Pengadilan harus memberi hukuman yang maksimal sehingga menimbukan efek jera.

Ketiga, pelaku perlu mendapat perawatan kejiwaan agar menghilangkan 'nafsu' dan 'keinginan' melakukan pelecehan seksual. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika adanya regulasi dan mekanisme perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan seksual. Serta, Dukungan kepada korban dan keluarga agar tetap dikuatkan oleh Yang Maha Kuasa, terutama dalam menghadapi proses hukum untuk mendapatkan keadilan.

Keempat, Negara untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual demi memberi efek jera. Sebab akan menimbulkan persoalan baru. Hukuman kebiri dapat menyebabkan pelaku mengalami masalah psikologis dan melakukan tindakan kekerasan lain yang lebih beringas.

Kelima, lembaga-lembaga keagamaan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan anak dan remaja yang mengintegrasikan pendidikan seksual, kesehatan reproduksi, nilai-nilai perdamaian, antikekerasan, dan penghargaaan perbedaan.

##

Berdasar semuanya itu, menurut saya, pencegahan pelecehan (dan juga kekerasan)  seksual, bukan cuma melalui tagar di Medsos, ungkapan keprihatinan, talk show, dan lain sebagainya, melainkan melaui aksi nyata yang Terstruktur, Masif, dan Sistimatis.

Untuk mereka yang riskan menjadi korban pelecehan seksual, usul saya, (i) ada baiknya menata ulang cara berpakaian dan bersikap di area publik, (ii) hindari area atau tempat-tempat yang tidak aman untuk perempuan, apalagi seorang diri, (iii) jika pelecehan itu di tempat kerja, maka perlu sikap tegas menolak dengan kata-kata yang terdengar oleh orang lain; ini sekaligus mempermalukan pelaku, (iv) menyiapkan 'alat bela diri' di tas kantor, kuliah, sekolah, (v) segera meminta pertolongan orang lain, (vi) sedapat mungkin pelajari teknik-teknis bela diri jika dalam keadaan darurat atau terdesak. Gampan khan.

Saya pun setuju dengan banyak pendapat bahawa, perlu perlindungan hukum pada korban kekerasan seksual dan pendampingan psikologis yang tak terbatas waktunya, hingga mereka benar-benar pulih; dan itu atas biaya negara. Serta adanya hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku, bahkan beri hukuman kebiri; selain itu, pelaku harus mendapat hukuman sosial. Pastinya, perlu edukasi menyeluruh tentang bagaimana perempuan menjaga diri dari kekerasan seksual, bila perlu dilatih bela diri.

Nah.

Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun