Dari Sekitaran Universitas Indonesia, Depok - Jabar | Salah satu unsur yang (sangat) pennting di/dalam Demokrasi adalah Pemilihan Umum (di dalamnya menyangkut pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Anggota Parlemen, Perdana Menteri, serta Presiden dan Wakil Presiden, dan lain sebagainya). Biasanya, sebelum terlaksananya Pemilihan Umum atau 'hari pemilihan' di Ruang Pemilihan, terjadi sekian banyak proses agar Pemilhan Umum tersebut berjalan dengan aman, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Salah satu unsur penting pada/dalam proses Pemilu adalah Kampanye; yang di dalamnya para peserta pemilu, dengan aneka cara dan model, menawarkan diri kepada publik agar memilih mereka sesuai jabatan politik. Dengan demikian, kampanye politik hanya sebagai salah medium antara politisi atau 'Yang akan Dipilih' dan rakyat atau Pemilih;' tidak lebih dari itu. Karena alasan sederhana itu, maka kampanye politik, dengan varian modelanya, merupakan upaya atau cara-cara untuk mempengaruhi orang lain (agar nanti memilih yang berkampanye) dengan cara-cara soft, menarik, natural, eduakatif, membuka wawasan, menyampaikan program, vis, misi, cita-cita dan harapan masa depan, serta penuh dengan bahas yang  bermartabat.
Atas dasar itu, maka kampanye politik bukan merupakan penyampaian orasi dan narasi yang bersifat pesimistis, menakutkan publik, mencela dan mengfitnah lawan politik, bahkan bukan juga menyampaikan ujara kebencian ke/pada golongan, suku, sub-suku, dan agama; kampanye politik bukan merupakan ancaman kepada publik, seperti, "Jika tidak memilih Kandidat ini, maka kalian akan mengalami masalah; Jika kamu tak memilih saya, maka hidup kamu akan hancur," dan lain-lain. Jika terjadi seperti itu, maka bukan kampanye, melainkan teror atau meneror publik (masyarakat calon pemilih).
Melompat pada sikon kekinian, di Negeri Tercinta, Indonesia, sementara terjadi apa yang disebut 'Masa Kampanye;' utamanya adalah perhatian publik terhadap kampanye Pilpres RI yang dilakukan para Calon Presiden dan Wakil Presiden. Masa kampanye ini, menurut banyak rekan-rekan akademisi dan pakar politik, dan saya setuju dengan mereka, bahwa kampanye Pilpres memiliki derajat atau pun kedudukan tertinggi di/dalam cara berkampanye para politisi.
Alasannya, Pilpres merupakan upaya untuk mencapai kedudukan politik eksekutif atau pemerintah di RI, jadi siapa pun yang berkampanye untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, maka ia (mereka) harus memperlihatkan diri 'lebih dan layak dipilih dan terpilih.' Juga, menunjukkan diri sebagai (Calon) Presiden dan Wakil Presiden, jika terpilih, untuk segenap rakyat dan bangsa (elemen-elemen bangsa yang berbeda, seperti suku, sub-suku, agama, golongan, kelas, strata, dan lain sebagainya), dan bukan hanya kelompok tertentu.
Oleh sebab itu, yang terjadi adalah kampanye; sekali lagi, kampanye bukan meneror publik (masyarakat calon pemilih). Sayangnya, sekarang ini, di Negeri Tercinta, kampanye untuk Pilpres yang sejatinya merupakan 'Kampanye dengan derajat dan Kualitas Tertinggi,' dirusak oleh meneror publik atau kampanye yang bersifat teror dan provokatip, minimal teror pikiran, idiologi, dan wawasan, serta penyempitan pandangan dengan data yang salah dan hoaks.
Tidak bisa dibantah kata-kata yang muncul di/pada kampanye, seperti 'bangsa yang buta huruf, kemampuan membaca yang sangat minim, punya ijazah tapi pengangguran, Negara memiliki banyak uang tapi dicuri, kalian adalah wajah-wajah orang susah, Komunis akan berkuasa dan menghancurkan bangsa, bangsa yang kurang berpendidikan, Negara akan hancur, jika saya terpikih, maka .... atau jika saya tidak terpilih, maka .... dan sejenisnya; semuanya itu, Â hanya menjadikan rakyat yang mendengar (dan melihat) pesimis dan tak berdaya.
Kata-kata seperti itu, sebetulnya sebagai ungkapan teror kepada rakyat atau meneror publik. Karena publik di bawa ke suatu area 'penyempitan cara pikir' bahwa dirinya sementara atau tetap ada (dan berada) pada sikon tak bisa serta tidak berdaya jika tetap mempertahankan kekuasaan (misalnya pada Petahana). Jadi, jika mau bebas, maka ganti dengan saya (Yang Berkampanye dan Berorasi), karena saya adalag Solusi, bukan yang lain.
Akibatnya, publik yang telah mengalami penyempitan cara pikir tersebut, memilih tanpa pertimbangan akal sehat, terpaksa, dan karena takut dan tertekan secara kejiwaan. Jadi, mereka atau ian memilih bukan karena pertimbangan memilih yang terbaik atau pun sesuai hari nurani, melainkan karena sikon ketakutan, terjepit, tak boleh memilih yang lain; ya memiliha karena teror politik yang ia (mereka) terima sebelumnya.
#