Politik Genderuwo
Bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang besar. Penduduk kita sekarang sudah 263 juta, dan kita ini dianugerahi oleh Allah SWT perbedaan-perbedaan, berbeda-beda, warna-warni. Kita memiliki 714 suku, banyak sekali suku di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, banyak sekali, 714 suku. Bahasa daerahnya ada 1.100 lebih.
Aset terbesar bangsa ini, modal terbesar bangsa ini adalah persatuan, persaudaraan, dan kerukunan. Oleh sebab itu, jangan sampai karena pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden ada yang tidak saling sapa dengan tetangganya, tidak saling sapa antarkampung, antardesa, tidak rukun antarkampung. Jangan sampai tidak rukun, tidak bersatu, menjadi pecah gara-gara pilihan presiden, pilihan gubernur, pilihan bupati.
Jangan sampai! Rugi besar kita ini. Karena apa? Setiap lima tahun itu ada pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden, ada terus, pilihan wali kota ada terus.
Sekarang ini banyak politikus yang pandai mempengaruhi, yang tidak pakai etika politik yang baik, tidak pakai sopan santun politik yang baik. Mereka melakukan politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, membuat kekhawatiran, propaganda ketakutan.
Setelah masyarakat takut, para politikus itu membuat ketidakpastian, sehingga masyarakat mempertanyakan kebenarannya, dan menjadi ragu-ragu. Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika.
Membuat ketakutan. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti, politik genderuwo.
Jangan sampai seperti itu, karena berbahaya sekali. Jangan sampai propaganda ketakutan menciptakan suasana ketidakpastian, menciptakan munculnya keragu-raguan.
Tegal, Jawa Tengah, 9 November 2018
Presiden RI, Ir. Joko Widodo
Politik Kebencian
Secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Makna politik semakin dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan meluasnya wawasan berpikir.
Dalam pengembangan makna, politik bisa berarti kegiatan (rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi) yang dilakukan oleh politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain atau pun kelompok, sehingga pada diri mereka (yang dikuasai) muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas (walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu; ketaatan semu; dan loyalitas semu).
Politik Kebencian, menurut saya, sisi lain (seperti dua sisi mata uang) dari Kebencian Politik. Dua-duanya menyatu, ada, terlihat pada (dalam diri) politisi atau pun Partai Politik.
Dengan itu, karena adanya Kebencian Politik, maka harus ditindaklanjuti dengan Politik Kebencian. Praktek-praktek politik kebencian, (berdasar Kebencian Politik) terlihat melalui ungkapan pernyataan, orasi, narasi yang bersifat ujar kebencian terhadap lawan politik; apa pun yang lawan politik lakukan (ranah privat, keluarga, politik, politis), selalu atau pasti ditanggapi dengan nada dan irama penuh kebencian, tanpa etika, tak bermartabat, bahkan vulgar. Tujuannya adalah, sesuai makna politik, publik dipengaruhi, diajak, untuk membenci lawan politik; walaupun tak ada alasan untuk 'harus membenci.' [Sumber: Klik]
##
Jika memperhatikan orasi Presiden Jokowi di atas, khususnya bagian, "Setelah masyarakat takut, para politikus itu membuat ketidakpastian, sehingga masyarakat mempertanyakan kebenarannya, dan menjadi ragu-ragu.Â
Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Membuat ketakutan. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti, politik genderuwo;" maka tujuan orasi tersebut sangat jelas.
Menurut saya, tujuang pastinya adalah para politisi (dan kelompok-kelompok pendukungnya) yang selalu menyampaikan orasi dan narasi ketakutan dan anti kebijakan pemerintah; bahkan merenurut mereka, segala sesuatu, yang selama ini, terjadi adalah 'penuh ketidakbenaran dan ketidakberesen,' sehingga Negara menuju kehancuran.Â
Isi orasi dan narasai ketakutan tersebut, antara lain, (i) ada jutaan anggota Komunis di NKRI Capres, (ii) tenaga kerja asing menguasai lapangan kerja, (iii) sedikitnya 10 % orang menguasai SDA dan Kekayaan Negara, (iv) sementara itu, 99 % rakyat Indonesia hidup pas-pasan, (v) NKRI bakalan lenyap pada tahun 2030, (vi) hutang Negara sudah mencapai ribuan triliuan rupiah, jauh lebih besar dari angka resmi dari pemerintah dan perbankan, dan lain sebagainya.
Mengapa para politisi tersebut 'harus' melakukan kampanye seperti itu? Padahal kampanye merupakan, sederhananya, adalah memberitakan (menyampaikan sesuatu melalui tulisan, gambar, suara dengan berbagai media) daya tarik untuk mendapat perhatian, dukungan, dan pilihan. Isi pemberitaan itu, antara lain kapasitas, kualitas, bobot, prestasi, kelebihan (berdasar data, fakta, arsip, hasil yang telah ada/dicapai), dan keuntungan jika memilih sesuai yang dikampanyekan.
Dengan demikian, jika Presiden menyatakan bahwa, "Sekarang ini banyak politikus yang pandai mempengaruhi, yang tidak pakai etika politik yang baik, tidak pakai sopan santun politik yang baik. Mereka melakukan politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, membuat kekhawatiran, propaganda ketakutan;" maka ada benarnya atau sangat tepat. Karena apa-apa yang mereka sampaikan tersebut sangat terbuka atau terang bederang di hadapan publik.
Faktanya, hampir setiap saat, rakyat atau publik disuguhi orasi, narasi, meme, danm pemberitaan yang bersifat ujar kebencian, hoaks, ajakan-ajakan provokatif, dan sejenis dengan itu. Semuanya, bisa saya sebut, sebagai bentuk penyesatan (terhadap) publik, dalam rangka mendapat dukungan politik. Dan itu adalah suatu anomali (dari) politisi kekinian di Indonesia.
Jadinya, model dan gaya (ber)politik seperti itu, yang disebut Presiden Jokowi sebagai 'Politik Genderuwo,' merupakan kosa kota baru dalam 'Pentas Politik Nusantara.' Suatu model yang bibit-bibitnya telah ada sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, Pilpres 2014, kemudian berkembang pada Pilkada DKI Jakarta 2017; dan kini coba dimainkan ulang pada (untuk) Pilpres 2019. Menyedihkan, dan memang sangat menyedihkan.
Lalu, bagaimana melawan model (ber)politik genderuwo seperti itu? Gampang; jika genderuwo, jika memang ada, suka menakutkan orang-orang (terutama mereka yang lemah jiwa dan penakut), maka melawan mereka hanya dengan berani dan keberanian. Yaitu, (i) berani membantah orasi dan narasi bohon serta kebohongan, (ii) tidak percaya ucapan-ucapan dan teriakan mereka, (iii) berpikir positif untuk masa depan Bangsa dan Negara, (iv) jujur melihat fakta hasil-hasil pembangun, (v) sampaikan kepada orang lain bahawa para politisi genderuwo hanya bisa merusak, membuat ketakutan, karena tidak memiliki kualitas memimpin Rakyat, Bangsa, dan Negara, (vi) doakan lah para politisi busuk tersebut agar bertobat sebelum ajal tiba.
Cukup lah
Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H