Satu lagi kasus intoleran dan ujar kebencian muncul dari ranah pendidikan menengah di Indonesia; kasus yang mencoreng dunia pendidikan seharusnya bebas dari segela bentuk sentimen sara, ujar kebencian, serta hal-hal yang tidak bermartabat lainnya. Kasus seperti itu, menurut saya, hanya satu (yang terlihat) dari sekian banyak yang terjadi di Indonesia. Guru termasuk (orang dan profesi) yang paling banyak menyebarkan hokas dan ujar kebencian (di Medsos dan Dunia Nyata).Â
Hal tersebut telah menjadi perhatian pemerintah, sehingga Badan Kepegawaian N mengeluarkan Surat Kepala BKN Nomor K.26 30/V.72-2/99 kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah perihal Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS. Surat tersebut sebagai kelanjutan dari Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 137 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi ASN, [Klik untuk Baca Surat BKN dan Surat Edaran Kemenpan Reformasi Birokrasi].
NK, Guru Agama dari SMAN 87 Jakarta Selatan
Kali ini tentang Ibu Guru NK (yang mengajar Agama) di SMAN 87 Jakarta Selatan. Ibu Guru nan cantik satu ini, terhitung unik. Entah ia mengajar dengan metode apa serta pokok bahasan yang ia ajarkan, namun telah berkembang hingga hal sementara terjadi di Sulawesi Tengah.
Pasalnya, NK mengumpulkan siswa di tempat ibadah (banyak media menyebut di Mushola SMAN 87); kemudian menunjukkan video gempa di Palu, Sulawesi Tengah. Setelah itu, NK menjelaskan ke siswa bahwa apa yang terjadi di Sulteng, termasuk banyaknya korban bencana di Sulawesi Tengah akibat ulah Jokowi. Proses KBM seperti ini, ternyata lebih dari sekali.
Tentu saja, langsung membuat gerah sebagian siswa. Mereka pun melaporkan ke Kepala Sekolah SMAN 87. Menurut Kepala Sekolah SMAN 87 Jakarta Patra Patiah, "Sejak ada pengaduan pertama saya langsung bentuk tim investigasi dari wakil-wakil saya, tolong selidiki kebenarannya. Ambil sampel beberapa siswa yang diajar oleh guru yang bersangkutan. Menurut  beberapa siswa yang dijadikan sampel menyebut guru NK gemar menyisipkan muatan politik pada saat mengajar."
Ketika Kepala Sekolah meminta konfirmasi dari NK, ia membantah informasi dalam laporan tersebut atau tidak mengakui tindakannya. Dan, mengulangi perbuatannya. Hal tersebut menjadikan beberapa siswa (yang diajari NK) melaporkan ke orang tua mereka. Mendengar kelaukuan NK, mereka pun memposting 'ajaran kebencian dari NK' di Media Sosia; Nitizen menyambut dengan beragam reaksi negatif, dan virall.
Reaksi publik yang keras dan bertubi-tubi tersebut menjadikan Kepala Sekolah SMAN 87 melaporkan NK ke Dinas Pendidikan Jakarta; bahkan ada info bahwa NK akan diperiksa Bawaslu atau pun aparat keamanan.
Setelah kasus tersebut semakin ramai di Medsos, melalui Kepala Sekolah SMAN 87, NK menulis surat permohonan maaf. Isi surat tersebut antara lain
- Paska gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah saya melakukan refleksi pembelajaran di masjid dengan menggunakan media video tentang bencana gempa dan tsunami
- Selama dan setelah pemutaran video saya memberikan penjelasan/komentar tentang isi video. Ada kemungkinan saya salah ucap atau siswa salah mempersepsikan kalimat-kalimat penjelasan saya.
- Sehubungan dengan itu, sebagai manusia yang tidak luput dari khilaf dan salah, dengan hati yang tulus saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat yang merasa dirugikan dengan kejadian ini, khususnya kepada Bapak Presiden Jokowi yang terbawa-bawa dalam masalah ini, dan juga kepada teman-teman wartawan. Saya berjanji akan lebih berhati-hati di masa yang akan datang, agar ucapan dan tindakan saya tidak menyinggung siapa pun.... Selengkapnya ada di KOMPAS.com.
[Sumber: Kompas.com. Note: Dari item nomer 2, NK masih saja mengelak, bahwa ia menyampaikan hal yang bersifat  'salahkan Jokowi']. Surat ini, jika diperhatikan, maka sebetulnya NK tidak mengakui kesalahannya. Baginya, apa yang ia ucapkan dan lakukan, hanyalah 'kemungkinan salah ucap dan salah persepsi pada murid-muridnya.' Artinya, NK tak pernah menyesali perbuatannya.
Walau sudah meminta maaf, menurut Kepala Seksi Pendidikan Menengah Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Selatan Hermanto NK harus menjalani pemeriksaan yang dilakukan kepala sekolah, hasilnya disampaikan ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Jika terbukti bersalah, Kepala Dinas Pendidikan menjatuhkan hukuman disiplin terhadap NK.
Tentang Guru
Kata 'guru' berasal dari bahasa Sanskerta (yaitu pengajar atau seorang pengajar); dan didaskalos atau pengajar. Didaskalos selalu dihubungkan dengan didasko dan didaskein, yang bermakna pengajaran, serta aktivitas yang menyebabkan kecakapan baru pada orang lain. Didaktus berarti pandai mengajar, sedang didaktika berarti saya mengajar.
Kata-kata tersebut telah menjadi 'milik' bahasa Indonesia, dan diperluas maknanya sehingga berarti seserang yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, seseorang atau kelompok. Dengan itu, bisa dipahami, pada Institusi Pendidikan, ada istilah 'Didaktik Kurikulum,' yang merujuk pada konten, muatan, isi, bahan ajar kepada peserta didik. Pada proses atau pun kegiatan belajar mengajar (KBM), guru atau pengajar dan didaktik kurikulum merupakan peran utama.
Secara universal, tugas (seorang) guru sama dengan (seorang) filsuf pada masa lalu; guru mengajar, membagi ilmu, dan membibing agar peserta didik pahami, ikuti, serta bertindak bijak dan penuh kebijaksanaan. Dengan demikian akan tercipta insan yang tertip, disiplin sehat, berkualitas, dan berpengetahuan; sehingga mampu survive dan membela Negara.
Secara formal, di Indonesia, guru adalah seorang pengajar di sekolah; ia memiliki kemampuan mendidik dan memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.
##
Guru (formal maupun non-formal) memiliki peran yang sangat penting pada proses tumbuh kembang intelektual seseorang; ia nyaris tak tergantikan. Peran tersebut menjadikan (banyak di antara mereka) tak terlupakan oleh para (mantan) anak didiknya.
Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang menyebarkan hoaks, ujar kebencian, sentimen sara, atau pun hal-hal yang tak benar lainnya? NK tidak sendiri, masih banyak kasus sejenis, ada yang sudah terunkap, dan tak sedikit yang belum.
Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan, "Berdasarkan data yang dihimpun Lapor-BKN, ada 14 aduan yang melibatkan ASN pusat dan daerah terkait dengan ujaran kebencian dan hoaks. Terlapor terbanyak berprofesi sebagai dosen ASN, kemudian diikuti oleh PNS Pemerintah Pusat, PNS Pemerintah Daerah dan guru. Pengaduan tersebut bermuatan hoaks dan ujaran kebencian itu disertai dengan lampiran unggahan di media sosial macam Facebook dan Twitter. Selain itu, ada pula yang diduga menjadi simpatisan organisasi yang dilarang pemerintah, [CNN]."
Berdasarkan semuanya itu (di atas), agaknya Pemerintah, dhi. Institusi yang berhubungan dengan pengankatan dan kualitas guru, perlu mengkaji ulang persyaratan menjadi guru, utamanya untuk diangkat sebagai Guru Negeri. Persyaratan tersebut, misalnya atau termasuk ada tidaknya potensi (pada/dalam diri guru tersebut) menjadi seorang anti sosial, menyebarkan ujaran kebencian, anti Negara, bahkan ada tidaknya potensi mengembankan (dan mengajarkan) hal-hal yang bersifat sentimen SARA.
Selain itu, sejak hampir 20 tahun lalu, setelah tidak ada lagi lembaga pendidikan tinggi yang disebut Institut Keguruan dan Pendidikan atau IKIP, sekarang yang tersisa hanya Universitas Pendidikan Bandung (Mantan IKIP Bandung) bisa dikatakan, pendidikan (kususus) untuk menjadi guru, hanya bersifat umum. Walalu seperti itu, anda dan saya tak perlu berkecil hati, di Indonesia, masih sangat banyak lembaga pendidikan tinggi yang mencetak calon-calon guru. Misalnya Sekolah Tinggi Keguruan dan Pendidikan, Fakultas Keguruan, dan lain-lain. Dan, nantinya, jika seseorang atau lulus Perguruan Tinggi hendak menjadi guru, maka ia harus mengikuti proses sertifikasi (agar layak) menjadi guru.
Namun, berdasarkan pengalaman sebagai mantan guru yang mengajar dari SD hingga Perguruan Tinggi, tak sedikit mereka yang menjadi guru karena tuntutan 'membutuhkan pekerjaan atau merupakan pilihan terakhir.' Sehingga, mudah ditemukan sejumlah besar guru yang kurang berkualitas secara akademis, meinim penguasaan materi ajar, serta miskin metode (dan proses) kegiatan belajar mengajar atau KBM.
Oleh sebab itu, untuk Pengelola Sekolah, Pimpinan Sekolah dan Yayasan, selayaknya secara berkala atau pun terus menerus, melakukan kelas-kelas penyegaran terhahap para guru sesuai bidang studinya. Mereka, para guru perlu mengisi dirinya dengan berbagai info terbaru yang ada hubungan dengan bidang studinya serta hal-hal yang yang bersifat pengembangan wawasan berbangsa dan bernegara, pengetahuan umum, termasuk penguasaan IT, dan lain sebagainya yang menyangkut hal-hal yang bersifat membentuk karakter.
Dengan itu, guru tak lagi berputar-putar pada penguasaan bidang studi yang ia ajarkan, melainkan 'banyak tahu hal lain' sehingga muda terrbawa arus informasi salah; kemudian informasi salah itu, ia ajarkan ke anak-anak didiknya. Katakanlah seperti Guru NK di SMAN 87 Jakarta Selatan.
Kembali ke awal; Lalu bagaimana mencegah agar tidak terjadi seperti NK, Guru Agama di SMAN 87 Jakarta Selatan? Terpulang kepada Pemerintah atau pun Aparat
##
Akhir kata, "Saudara-saudaraku, janganlah banyak di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihukum menurut ukuran yang lebih berat, (Yakobus, Sang Guru)." Dalam arti, guru mempunyai tanggungjawab sangat besar dalam rangka memajukan manusia dan peradaban; jika salah, maka semuanya menjadi tak benar; jika terjadi, maka gurulah yang dihukum dengan berat.
Itulah sebabnya di Negeri ini ada Surat Kepala BKN Nomor K.26 30/V.72-2/99 kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi Pusat dan Daerah perihal Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS dan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 137 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi ASN; para guru di NKRI harus pahami betul tentang SE tersebut agar tidak salah kata di Ruang Kelas dan 'ruang Medsos.'
Kata-kata paling akhir, "Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajaran akan sama dengan gurunya." Kapan saya selesai belajar? Saya tidak pernah selesai belajar.
Opa Jappy | Seorang Guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H