Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banyak Guru seperti NK dari SMAN 87 Jakarta Selatan

11 Oktober 2018   07:50 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:40 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumnetasi Kompas Com

Tentang Guru

Kata 'guru' berasal dari bahasa Sanskerta (yaitu pengajar atau seorang pengajar); dan didaskalos atau pengajar. Didaskalos selalu dihubungkan dengan didasko dan didaskein, yang bermakna pengajaran, serta aktivitas yang menyebabkan kecakapan baru pada orang lain. Didaktus berarti pandai mengajar, sedang didaktika berarti saya mengajar.

Kata-kata tersebut telah menjadi 'milik' bahasa Indonesia, dan diperluas maknanya sehingga berarti seserang yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, seseorang atau kelompok. Dengan itu, bisa dipahami, pada Institusi Pendidikan, ada istilah 'Didaktik Kurikulum,' yang merujuk pada konten, muatan, isi, bahan ajar kepada peserta didik. Pada proses atau pun kegiatan belajar mengajar (KBM), guru atau pengajar dan didaktik kurikulum merupakan peran utama.

Secara universal, tugas (seorang) guru sama dengan (seorang) filsuf pada masa lalu; guru mengajar, membagi ilmu, dan membibing agar peserta didik pahami, ikuti, serta bertindak bijak dan penuh kebijaksanaan. Dengan demikian akan tercipta insan yang tertip, disiplin sehat, berkualitas, dan berpengetahuan; sehingga mampu survive dan membela Negara.

Secara formal, di Indonesia, guru adalah seorang pengajar di sekolah; ia memiliki kemampuan mendidik dan memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.

##

Guru (formal maupun non-formal) memiliki peran yang sangat penting pada proses tumbuh kembang intelektual seseorang; ia nyaris tak tergantikan. Peran tersebut menjadikan (banyak di antara mereka) tak terlupakan oleh para (mantan) anak didiknya.

Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang menyebarkan hoaks, ujar kebencian, sentimen sara, atau pun hal-hal yang tak benar lainnya? NK tidak sendiri, masih banyak kasus sejenis, ada yang sudah terunkap, dan tak sedikit yang belum.

Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan, "Berdasarkan data yang dihimpun Lapor-BKN, ada 14 aduan yang melibatkan ASN pusat dan daerah terkait dengan ujaran kebencian dan hoaks. Terlapor terbanyak berprofesi sebagai dosen ASN, kemudian diikuti oleh PNS Pemerintah Pusat, PNS Pemerintah Daerah dan guru. Pengaduan tersebut bermuatan hoaks dan ujaran kebencian itu disertai dengan lampiran unggahan di media sosial macam Facebook dan Twitter. Selain itu, ada pula yang diduga menjadi simpatisan organisasi yang dilarang pemerintah, [CNN]."

Berdasarkan semuanya itu (di atas), agaknya Pemerintah, dhi. Institusi yang berhubungan dengan pengankatan dan kualitas guru, perlu mengkaji ulang persyaratan menjadi guru, utamanya untuk diangkat sebagai Guru Negeri. Persyaratan tersebut, misalnya atau termasuk ada tidaknya potensi (pada/dalam diri guru tersebut) menjadi seorang anti sosial, menyebarkan ujaran kebencian, anti Negara, bahkan ada tidaknya potensi mengembankan (dan mengajarkan) hal-hal yang bersifat sentimen SARA.

Selain itu, sejak hampir 20 tahun lalu, setelah tidak ada lagi lembaga pendidikan tinggi yang disebut Institut Keguruan dan Pendidikan atau IKIP, sekarang yang tersisa hanya Universitas Pendidikan Bandung (Mantan IKIP Bandung) bisa dikatakan, pendidikan (kususus) untuk menjadi guru, hanya bersifat umum. Walalu seperti itu, anda dan saya tak perlu berkecil hati, di Indonesia, masih sangat banyak lembaga pendidikan tinggi yang mencetak calon-calon guru. Misalnya Sekolah Tinggi Keguruan dan Pendidikan, Fakultas Keguruan, dan lain-lain. Dan, nantinya, jika seseorang atau lulus Perguruan Tinggi hendak menjadi guru, maka ia harus mengikuti proses sertifikasi (agar layak) menjadi guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun