Tentang Miskin dan Kemiskinan
Miskin, Kemiskinan, Orang Miskin, Kelompok Masyarakat Pra-sejahtera, dan apa pun isitilahnya, umumnya, menunjuk kepada komunitas atau orang per orang yang berkekurangan, terbatas mengakses (dan mendapat) kelengkapan penunjang serta tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan; selanjutnya, saya sebut Kaum Miskin. Mereka menjadi bagian tak terelakan dari sikaya dan berpunya. Mereka (Kaum Miskin dan Orang Kaya) ada di era dan sama, namun terdapat gap abstrak dan kongkrit yang membatasinya.
Menelusuri sumber kemunculan kaum miskin merupakan sesuatu yang cukup kompleks; ada beberapa catatan yang bisa menjadi acuan tentang adanya kaum miskin dengan kemiskinannya (terutama di Indonesia), salah satu penyebabnya adalah mereka tercipta karena korban ketidakadilan para pengusaha. Kemajuan sebagian masyarakat global (termasuk Indonesia) yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain sebagian
[Sumber: Opa Jappy, lengkapnya Klik]
Politisasi
Lalu, kapan Kaum Miskin berubah menjadi "tidak miskin?"  Itulah yang menjadi harapan banyak orang dan pada diri Kaum Miskin itu sendiri. Di mana-mana, juga di Indonesia, pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi atau pun menghilangkan kemiskinan; dan bukan melenyapkan orang miskin. Dengan  demikian, orang yang miskin tersebut atau orangnya tetap ada (hidup, eksis) namun sikon dirinya tidak dalam kemiskinan serta serba kekurangan. Itu yang seharusnya terjadi; faktanya?
Faktanya adalah, miskin, kemiskinan, atau pun orang yang miskin menjadi salah satu 'alat digenggam politisi untuk berpolitik. Mereka, jumlah orang miskin atau angka kemiskinan, dihitung, jika tiba saat membutuhkan dukungan suara agar menjadi pemimpin daerah ataupun anggota legislatif. Atau, lebih tragis lagi, mereka diperlukan, jika ingin melakukan demonstrasi (plus kerusuhan) melawan pemerintah.
Bahkan, jumlah mereka dikurangi karena salah satu ukuran keberhasilan pemerintah adalah berkurangnya masyarakat atau orang miskin. Atau, jumlah mereka ditambah karena dipakai oleh kaum oposan (kaum oposisi yang dimaksud adalah orang-orang di luar lingkaran pemerintah) sebagai salah satu tolok ukur ketidakberhasilan serta ketidakbecusan pemerintah mengelola negara.
Dengan cara-cara seperti itu, miskin, kemiskinan, orang miskin, hanya berkisar data, angka, prosentasi, jumlah, dan lain sebagainya. Padahal tidak melulu seperti itu, yang seharusnya terjadi adalah penanganannya, atau  bagaimana membuka jalan atau peluang agar mereka bisa keluar dari belenggu kemiskinan.
##
Melihat fakta bahwa adanya politisasi angka kemiskinan tersebut, merupakan langkah Salah politisi. Seharusnya, mereka berupaya  memberantas kemiskinan, misalnya yang lebih berpendidikan mau duduk sama sama dengan mereka yang miskin secara setara atau membuang gap kaya-miskin. Pada sikon itu, bisa mengali dan mengetahui keadaan dan kebutuhn (orang miskin), kemudian membantu serta mendampingi mereka agar keluar dari kemiskinan atau pun keterbatasannya.Â