Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Derita Etnis Rohingya Belum Berakhir

22 Maret 2018   20:34 Diperbarui: 22 Maret 2018   21:05 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi BBC Indonesia

Anwara 14 tahun

Setelah keluarga saya dibunuh di Myanmar; saya memutuskan untuk meminta tolong. Saya berdiri di pinggir jalan yang mengarah ke Bangladesh. Seorang perempuan datang menggunakan mobil van. Dia bertanya kepada Anwara, "Apakah ingin ikut?" Anwara mengangguk setuju dan naiklah dia ke mobil itu berbekal janji bahwa dirinya akan mendapat kehidupan baru. Ia dibawa pergi ke kota terdekat di Bangladesh, Cox's Bazar.

Apa yang terjadi? Anwara bertutur, "Tak lama setelah itu mereka membawa dua anak laki-laki ke hadapan saya. Mereka memperlihatkan sebilah pisau dan menonjok saya di bagian perut dan memukuli saya karena saya tidak menurut. Kedua anak laki-laki itu lalu memerkosa saya. Saya tidak mau berhubungan seks tapi mereka terus memaksa."

Masuda, 14 Tahun

Keluarga saya menghilang. Saya tidak punya uang. Saya pernah diperkosa di Myanmar. Dulu saya suka bermain di hutan bersama kakak dan adik. Sekarang saya tidak ingat lagi bagaimana rasanya bermain.

Dari awal saya tahu apa yang akan terjadi pada saya. Perempuan yang menawarkan saya pekerjaan sudah diketahui banyak orang bahwa dia menyalurkan perempuan-perempuan ke bisnis seks. Dia adalah orang Rohingya dan sudah berada di sini sejak lama, kami mengenalnya. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak ada apa-apa bagi saya di sini.

Catatan di atas, sesuai laporan Tim Investigasi BBC dan Foundation Sentinel (organisasi nirlaba yang bertujuan melatih dan mendampingi aparat hukum dalam memerangi eksploitasi anak) di Cox's Bazar, Bangladesh. Tim BBC dan FS ke Bangladesh setelah mereka mendapat informasi (formal dan informal) tentang adanya human trafficking sekaligus prostitusi anak (laki-laki dan perempuan) di daerah tersebut; dan mereka yang diperdagangkan adalah anak-anak-anak korban konflik atau di Kamp-kamp Pengungsi Rohingya.

Anak-anak tersebut, terutama remaja putri, ditipu oleh jaringan perdagangan orang, mereka kemudian dibawa ke Chittagong dan Dhaka di Bangladesh, Kathmandu di Nepal, dan Kolkata di India, kemudian dipaksa sebagai PSK. Namun, uang yang mereka dapat dari 'para pemakai jasa,' lebih banyak disetor ke para mucikari atau germo.

Itulah kisah nyata yang tragis tentang para pengungsi Rohingya. Mereka yang telah terusir dari Myanmar, ada kini ada di Wilayah Bangladesh, tanah air Nenek Moyang mereka. Sayangnya, di tanah leluhur tersebut, mereka tak disambut sebagai saudara-saudara yang pulang atau kembali. Sudah taka ada tempat untuk Rohingya di Bangladesh.

Lebih dari itu, orang-orang Rohingya yang mengungsi dari Myanmar tersebut, mendapat perlakuan sebagai 'orang asing' yang tidak diinginkankan. Pada sikon itu, yang lebih menderita adalah anak-anak yang kehilangan orang tua atau mati terbunuh di Myanmar. Mereka menjalani hari-hari hidup dan kehidupan dengan makanan apa adanya, tanpa pendidikan, serta kualitas kesehatan yang rendah.

Dengan keadaan seperti, anak-anak tersebut (laki-laki dan perempuan) kehilangan harapan agar mencapai hidup dan kehidupan yang lebih baik, hanya bisa pasrah. Dalam kepasrahan itu, mereka ditipu oleh para germo, mucikari, jaringan perdagangan orang dan prostitusi anak. Mereka yang sudah ada dalam cengkraman jaringan prostitusi anak tersebut, tak bisa berbuat banyak; hanya melayani para pengguna jasa. Dan, ketika bertambah usia atau sudah tidak menarik, mereka pun diusir oleh para mucikari.

Itulah yang sementara terjadi pada anak-anak Etnis Rohingya di Banladesh; mereka adalah korban, dan kini kembali menjadi korban. Seakan, lari dari mulut Buaya, masuk ke cakaran Singa.

Lalu apa yang bisa kita (atau Indonesia) bisa lakukan? Saya jadi ingat beberapa tahun terakhir, sejak munculnya Konflik di Myanmar, sejumlah orang di Indonesia, berteriak bagaikan pahlawan kemanusian, untuk membela Muslim Rohingya. Pada waktu itu, saya pun berkata kepada mereka yang demo-demo membela Rohingya agar membuka rumahnya untuk menampung sebanyak mungkin pengungsi.

Nyatanya, mereka hanya berteriak, tapi tak berbuat apa-apa. So, jika membaca laporan Tim BBC dan FS tersebut, maka Indonesia belum terlambat untuk melakukan sesuatu. Indonesia, bersama Asean, tentu saja bisa melakukan upaya bersama sehingga kasus seperti di Bangladesh tak terjadi di Kamp-kamp Pengungsi Rohingya lainnya, di luar Bangladesh.

Bahkan, berbagai ormas di Indonesia, tentu bersama-sama Asean, bisa melakukan pemulihan dan pendampingan terhadap anak-anak korban konflik tersebut; hal itu dilakukan dalam rangka memberi harapan baru dan masa depan yang lebih baik kepada mereka.

Opa Jappy

Artikel Terkait

Bukalah Pintu Rumahmu untuk Rohingya


Setuju, Satu Pulau untuk Rohingya di Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun