Catatan Kecil:
Ia, Amin Rais, disebut memiliki latar pendidikan yang mentereng. 1968 lulus dari Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada; 1974 Notre Dame Chatholic University Indiana, USA; 1981 Al-Azhar; 1984 Chicago University; dan 1989-1989 Post Doctoral Degree dari George Washinton University. Foku studi Amin Rais adalah Politik dan Politik Islam. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas terutama mengenai hak asasi manusia dan demokrasi.
Juga, orang itu, Si Amin Rais, disebut sebagai 'bukan sekedar ahli politik' namun sekaligus seorang seorang politikus; dan ia pernah tampil sebagai salah satu penggerak reformasi 1998, kemudian menjabat Ketua MPR periode 1999-2004.
Dengan modal tersebut, dan berbagai pengalaman sebelumnya, sebetulnya Amien Rais mampu berkontribusi pada pembangunan "Bangunan Demokrasi Pancasila," khususnya di Indonesia. Ia bisa menjadi Soko Guru Pembangunan Demokrasi menuju Indonesia yang lebih baik. Sayangnya, Amin hanya mampu melihat "kebobrokan" negara Indonesia, dilanjutkan kritik tajam tanpa solusi cerdas.
Belakangan, atau beberapa tahun terakhir, entah angina apa yang bertiup dan menghantui Amin Rais, Sang Profesor ini lebih menyukai menampilkan diri sebagai Oposisi terhadap Pemerintahan Jokowi-JK. [Note: Oposisi dalam/di Negara Demorkrasi adalah tidak dosa, biasa, dan perlu ada. Mereka bisa sebagai 'pemerhati dan pemberi value kepada Pemerintah. Namun harus dilakukan secaras kritis dan bermartabat]. Namun, apa yang dilakukan oleh Amin Rais, bukan seperti 'Kaum Oposisi' pada Negara-negara Demokrasi di Dunia; yang ia lakukan lebih cenderung atau pun menjurus pada 'perlawanan dan pemberontakan politik' terhadap Pemerintah.
Kecenderungan tersebut, menjadikan Amin Amin Rais mahirdan terus-menerus mengeluarkan orasi, narasi, pernyataan, dan ungkapan yang mendiskreditkan Pemerintah. Serta, semua yang ia sampaikan dan lakukan tersebut tanpa data, fakta, dan hasil rekaan semata.
Misalnya, yang paling mengemuka adalah isu komunis; pada banyak kesempatan Amin  menyatakan bahwa, adanya kebangkitan PKI sehingga sudah punya member 60 juta orang karena bertambah anggota era kepemimpinan Presiden Joko Widodo; Komunis sudah nyata hadir di tengah masyarakat; sudah mengantongi nama orang yang memimpin lahirnya kembali PKI; Markas pusat PKI tidak lagi berada di lokasi-lokasi senyap; tepatnya di wilayah Jakarta Timur, tidak jauh dari kantor pusat Nahdlatul Ulama (NU).
Si Amin (juga) menyatakan bahwa adanya kebohongan Nasional yang sedang dilakukan oleh para pejabat Negara untuk menutupi isu kebangkitan komunis di Indonesia. Selain itu, menurut Si Profesor, ada pemimpin-pemimpin yang mempunyai jabatan dan posisi tinggi di pemerintahan menjadi motor untuk kebangkitan PKI. Nah.
Bukan itu, saja, yang paling menghebohkan adalah, ketika 18 Maret 2018 di Bandung, Amin Rais menyatakan, "Program bagi-bagi sertifikat yang dilakukan Jokowi merupakan pembohongan. Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" Â Luar biasa tidak cerdas.
Lucuh, sedih, prihatin, dan amat disayangkan. Pernyataan-pernyataan Amin Rais tersebut dipublikasi oleh berberbagai 'media oposisi' sebagai 'kebenaran data dan fakta yang akurat serta valid. Kemudian. Disambut (dan ditambah bumbu-bumbu racun mematikan) serta dipublikasikan oleh media-media non main stream, blog, situs-situs copas berita (yang tak jelas dan tak bisa dipertanggungjawabkan). Setelah itu dishare ke berbagai aplikasi dan Media Sosial. Dampaknya? Jelas, menjadi virall.