Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PK Basuki Tjahaja Purnama Perjuangkan Keberpihakan Hukum

8 Maret 2018   12:59 Diperbarui: 8 Maret 2018   13:23 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pondok Cina, Depok -- Jawa Barat | Berita 'tidak mengenakan' datang dari CNN Indonesia, yang mengutip pendapat  Pakar pidana asal Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda tentang Peninjauan Kembali (PK) Kasus Penodaan Agama  mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.  

Menutut Sang Pakar, Rabu 7 Maret 2018, "Karena enggak ada novum, ya enggak ada PK lah. PK itu jalan masuknya novum. Enggak ada PK yang dikabulkan cuma karena alasan yang lain, semua PK yang dikabulkan karena ada novum. Novum menjadi salah satu syarat pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA.

Dalam berkas PK yang telah diterima MA, Ahok lewat kuasa hukumnya hanya menyertakan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung atas kasus ujaran kebencian bernuansa SARA dengan terdakwa Buni Yani dan kekeliruan dari majelis hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Ahok." Jadi,  Chairu; Huda terang benderang  memperjelas mekanisme yang ada, jika mau mengajukan PK ke MA.

Saya tidak terlalu paham (secara detail) tentang mekanisme tersebut, namun jika ikuti pendapat Chairul Huda, maka PK Ahok ke MA akan mengalami jalan buntu. Lalu, mengapa Ahok dan pengacaranya, kini, baru mengadakan PK, dan tidak sejak awal menaikkan banding? Tentu ada berbagai pertimbangan dari luar ranah hukum, terutama sikon politik pada masa itu, Mei 2017.  

Walau belakangan, menurut  para pengacara Ahok (pada video yang diunggah ke Youtube), bahwa Majelis Hakim mengakui khilaf ketika memutuskan perkara Ahok. Artinya, yang terjadi adalah mungkin saja, Majelis Hakim berada dalam tekanan (atau pun ada faktor-faktor lain)sehingga mereka menghukum "Orang yang Tak Bersalah.'  Dengan itu, karena kekeliruan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersebut maka Ahok dipenjarakan.

Ketika itu, 9 Mei 2017, Jaksa menuntut bahwa Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156 KUHP tentang penistaan terhadap suatu golongan. Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan, Ahok harus dihukum penjara selama satu tahun, dengan percobaan dua tahun. Dalam arti, pada kurun waktu itu, jika Ahok melakukan hal yang sama, maka ia harus dipenjarakan. Tetapi, sebaliknya, Majelis Hakim menghukum Basuki alias Ahok selama dua tahun penjara, karena terbukti melanggar Pasal 156 huruf a KUHP tentang penodaan agama. Serta menurut Majelis Hakim, "Ahok mempunyai niat dan sengaja dalam mengucapkan kalimat itu. Sebagai pejabat publik, seharusnya Ahok lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah yang melecehkan."

Nah.

Saya, lepas dari sebagai pendukung Basuki T Purnama, mengikuti pendapat  para pakar lainnya bahwa jika Ahok mengajukan PK, maka itu sah dan hak konstitusinya sebagai WNI. WNI yang tetap dan terus menerus memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum.

Lebih daripada itu, pengajuan PK Ahok, juga merupakan salah satu upaya untuk memperjuangkan 'Keterpihakan Hukum;' keterpihakan yang telah mengalami degradasi dan dihilangkan karena adanya banyak pengaruh dari luar pengadilan. Tentang 'Keterpihakan Hukum' tersebut, pengalaman pahit yang dialami oleh Ahok, hanyalah satu dari sejumlah kasus yang terjadi di ranah Penegakkan Hukum di Indonesia. Paling tidak, dalam catatan saya ada sejumlah faktor yang mempengaruhi sekaligus sebagai kendala penegakan hukum; hal tersebut antara lain,

  1. Undang-undang; misalnya pasal dan ayat KUHP yang dipakai untuk mengadili dan menghukum seseorang, dan tafsir terhadap ayat-ayat tersebut.
  2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan seseorang bersalah atau tidak.
  3. Fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
  4. Masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
  5. Sikon sosial, budaya, politik, keamanan.

Dengan demikian, jika 'kemarin' Ahok diputuskan bersalah karena adanya faktor-faktor yang menjadikan Majelis Hakim mengkesampingkan  'Penegakan dan Keterpihakan Hukum,' maka PK ke MA sebagai suatu upaya yang sah dan bermartabat. Upaya tersebut, bisa disebut sebagai, bagian dari perjuangan untuk mencapai keadilan hukum.

Kita menanti proses dari/dan di Mahkamah Agung.

Salam Damai Minggu-minggu Pra-paskah

Opa Jappy

Artikel Terkait

Ketika Mereka Menerima Keputusan Majelis Hakim

Basuki Tjahaja Purnama, menurut Majelis Hakim juga melakukan pelanggaran hukum; namun reaksinya berbeda. Ia tunduk dan menerima keputusan Majelis Hakim, berat namun harus diterima. Penerimaan tersebut, sekaligus, pada saat itu, menerima suatu kenyataan bahwa dirinya 'sudah disalahkan dan bersalah,' jadi tidak menolak atau melawan putusan Pengadilan. Keputusan tersebut harus dihormati dan dijalankan

Opa Jappy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun