Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Mereka Menerima Keputusan Majelis Hakim

3 Maret 2018   14:55 Diperbarui: 4 Maret 2018   15:17 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto Tribun dan Kompas Com

Pondok Cina, Depok Jawa Barat | Perhatikan foto di atas. Gabungan tiga foto, dari sumber yang berbeda dan tentang orang-orang yang tak sama. Mungkin, mereka saling tahu, namun tak mengenal satu sama lain. Saya sengaja 'gabungkan' pada satu frame, dalam rangka membangun suatu rangkain refleksi tentang reaksi terhadap 'kesalahan yang dituduhkan dan keputusan peradilan.'

Ya. Mereka mereka bertiga adalah Basuki T Purnama atau Ahok, Buni Yani, dan Jonru Ginting. Basuki T Purnama, saya cukup tahu banyak tentang dia. Buni Yani dan Jonru Ginting, saya sekedar tahu keduanya namun tidak penting mengenal mereka lebih mendalam.

Ahok diseret ke Pengadilan karena tertimpa tudingan dan tuduhan sebagai penista agama. Buni terpidana pelanggaran UU ITE, dan Jonru diadili karena selalu melakukan postingan ujar kebencian di Media Sosial. Di pengadilan, dan selama persidangan, mereka mendapat perhatian dan dukungan berbagai pihak. Proses persidangan diringi dengan ramai dan keramaian di luar ruang sidang.

Ketiganya, Ahok, Buni, Jonru, disidangkan berbeda, namun kasus mereka bisa 'terkait' satu sama lain. Buni mengedit pidato Ahok di Kep Seribu, Jonru mempublikasikan secara TSM agar timbul kebencian terhadap Ahok; sementara Ahok sebagai sasaran atau korban, tidak bisa berbuat banyak. Mereka bertiga memiliki 'keterkaitan,' namun sekaligus berbeda ketika menerima keputusan pengadilan.

Buni Yani, Bandung 14 November 2017.

Setelah mendengar keputusan Majelis Hakim, Buni Yani langsung memperlihatkan wajah penuh kekecewaan. Ia berdiri dan mengangkat tangan ke atas, dan berseru, "Allahu Akbar!" Para pendukungnya pun mengucapkan hal yang sama. Mereka tak peduli terhadap aparat dan Majelis Hakim yang masih ada di Ruang Sidang. Setelah itu, ia keluar ruang siding, dan berorasi di antara pendukungnya.

Menurut Buni, "Polisi, Jaksa, dan Hakim, telah melakukan kriminalisasi terhadap kasus saya. Hakim lebih percaya terhadap para pendukung Ahok. Ini putusan gila dan tidak masuk akal. Kami sudah menghadirkan enam saksi ahli untuk membantah apa yang didakwakan. Namun, hakim lebih percaya kepada pendukungnya Ahok dibandingkan saksi ahli kami."

Buni dan kawan-kawannya, merasa (dan tidak mengakui) tak bersalah; bagi mereka peradilan dan persidangan lah yang tidak benar. Oleh sebab itu, mereka langsung melakukan atau menunjukkan reaksi perlawan serta tidak menerima keputusan Majelis Hakim yang dituding sebagai tidak adil.

Jonru Ginting, Jakarta 2 Maret 2018

Sesaat setelah mendengar putusan Hakim, ia berdiam sejenak, memperlihatkan wajah tak bersahabat, seakan tak peduli dengan siapa pun. Kemudian, berdiri, melangkah ke samping dan membelakangi Majelis Hakim; lalu kepalkan telapak tangan, mengakat ke atas, dan dengan nyaring berseru, "Kebenaran bisa disalahkan!! Tapi kebenaran tidak bisa dikalahkan!!"

Ia histeris, sambil tiga kali berteriak takbir. Para pengikutnya, menyambut dengan nada dan pekikan yang sama. Walau seperti itu, Jonru pun tak berdaya karena langsung dibawa ke penjara, untuk meneruskan hukuman.

Jonru, walaupun semua bukti menunjukkan bahwa ia (pada akun FBnya) selalu menyebarkan benci, kebenciaan, dan 'mengajak' orang (para pembacanya) agar memusuhi sesama yang bebeda SARA, ia tetap mengelak, dan merasa tidak pernah salah atau selalu benar.

Basuki T Purnama, Jakarta 9 Mei 2017.

Proses Persidangan terhadap Ahok, mendapat perhatian dari berbagai pelosok dan kalangan di Dalam dan Luar Negeri. Mereka memperhatikan dan mengamati semuanya; pro-kontra pendapat pun terjadi di banyak tempat dan area. Jaksa menyatakan atau menuntut bahwa Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156 KUHP tentang penistaan terhadap suatu golongan.

Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan, Ahok harus dihukum penjara selama satu tahun, dengan percobaan dua tahun. Dalam arti, pada kurun waktu itu, jika Ahok melakukan hal yang sama, maka ia harus dipenjarakan.

Tuntutan Jaksa, berbeda dengan keputusan Majelis Hakim; mereka menghukum Basuki alias Ahok selama dua tahun penjara, karena terbukti melanggar Pasal 156 huruf a KUHP tentang penodaan agama. Serta menurut Majelis Hakim, "Ahok mempunyai niat dan sengaja dalam mengucapkan kalimat itu. Sebagai pejabat publik, seharusnya Ahok lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah yang melecehkan."

Setelah mendengar keputusan Majelis Hakim, Ahok menatap Majelis Hakim seakan tak percaya terhadap apa yang ia dengar; tertunduk dan diam. Sesaat kemudian, ketika itu Ruang Sidang menjadi sunyi senyap, semua membisu, dan tak terasa, para pendukung Ahok yang ada dalam ruangan meneteskan air mata. Ahok membungkukan badan, dan memberi hormat kepada Majelis Hakim yang baru saja memvonisnya.

Ahok tidak berseru nyaring dan histeris sambil mencaci serta menolak keputusan Majelis Hakim; ia menerima semuanya dengan lapang dada. Ia bergerak tanpa kata, ia menuju mobil tahanan yang membawanya ke LP Cipinang. Perjalanan ke LP Cipinang, sekitar dua jam kemudian, para pendukung Ahok berunjuk rasa di depan Lapas Cipinang.

===

Semuanya di atas adalah reaksi terhadap keputusan Majelis Hakim. Reaksi spontan dari orang-orang menerima keputusan Majelis Hakim terhadap pelanggaran hukum yang mereka lakukan.

Buni dan Jonru, walau semua bukti menunjukkan bahwa mereka bersalah,  namun tetap (saja) menolak; mereka menyatakan diri tidak bersalah atau apa-apa yang dilakukan adalah suatu kebenaran. Jadi, bagi mereka, Majelis Hakim telah mengadili dan 'menghukum kebenaran.' Sehingga mereka memperlihatkan reaksi perlawanan dan melawan keputusan Majelis Hakim.

Basuki Tjahaja Purnama, menurut Majelis Hakim juga melakukan pelanggaran hukum; namun reaksinya berbeda. Ia tunduk dan menerima keputusan Majelis Hakim, berat namun harus diterima. Penerimaan tersebut, sekaligus, pada saat itu, menerima suatu kenyataan bahwa dirinya 'sudah disalahkan dan bersalah,' jadi tidak menolak atau melawan putusan Pengadilan. Keputusan tersebut harus dihormati dan dijalankan.

Beda orang, beda gaya dan cara.

Salam Damai Pra Paskah untuk Semua

Opa Jappy | Pegiat Hubungan Agama dan Masyarakat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun