Pondok Cina, Depok---Kamis, 8 Februari 2018, MK memutuskan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga merupakan obyek dari Hak Angket DPR. Suatu keputusan yang di luar dugaan banyak pihak, termasuk para Pegiat Anti Korupsi. Keputusan tersebut, sekaligus bertentangan dengan dengan putusan-putusan MK sebelumnya, yang menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif. Apalagi, menurut Mantan Ketua MK, Mahfud MD, keputusan MK terbaru itu, belum atau tidak membatalkan putusan MK sebelumnya.
Reaksi KPK
Bukan saja publik yang kecewa terhadap keptusan MK tersebut, namun hal yang sama muncul dari KPK. Sebelumnya, KPK menilai pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Berdasar itu, KPK bukan termasuk unsur eksekutif sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek pelaksana hak angket oleh DPR.
Sayangnya, MK mempunyai pertimbangan lain atau berbeda, MK menyatakan KPK adalah adalah lembaga eksekutif. Keputusan tersebut menurut Laode Syarif, Wakil Komisi Pemberantasan Korupsi, Â Â
"Kami merasa agak kecewa dengan putusannya karena judicial reviewitu ditolak. Putusan MK ini tak konsisten dan bertentangan dengan empat putusan terdahulu, dimana MK menyatakan bahwa KPK bukan lembaga eksekutif.
Inkonsistensi MK ini bahkan dipaparkan oleh empat hakim yang mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat. Dulu dikatakan KPK bukan bagian dari eksekutif, hari ini MK memutuskan bahwa KPK itu, dianggap bagian eksekutif. Menarik untuk kita lihat inkonsistensi dari MK."
Kecewa dan Kekecewaan dari KPK tersebut bisa diterima oleh akal sehat, pikiran normal, serta selaras dengan semangat pemberantasan korupsi dan koruptor di Indonesia. Â Â
Reaksi dari Para Guru Besar
Sejumlah besar Profesor dari berbagai perguruan tinggi, juga bereaksi keras terhadap Ketua MP. Bahkan mereka meminta agar Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi mundur dari jabatannya. Permintaan tersebut dituangkan dalam Surat Terbuka
"Dengan hormat,
Melalui surat ini kami ingin menyampaikan pandangan kami sebagai sejawat dan profesor atau guru besar dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi di Indonesia terkait penjatuhan dua sanksi etik yang diberikan Dewan Etik MK kepada Profesor Arief Hidayat dan upaya menjaga martabat dan kredibilitas MK di mata publik.
Kami prihatin atas penjatuhan dua kali sanksi etik yang diberikan oleh Dewan Etik MK terhadap Profesor Arief Hidayat. Kami sadari menjaga amanah dan melaksanakan tanggungjawab sebagai pejabat publik termasuk Hakim MK bukanlah sesuatu yang mudah dan sudah tentu seringkali mendapatkan tantangan maupun hambatan.
Namun sebagai kolega, kami ingin mengingatkan bahwa jika seseorang yang dipercaya publik di puncak lembaga penegak hukum -- dalam hal ini MK -- ternyata gagal memegang teguh moral kejujuran, kebenaran, dan keadilan, maka ia telah kehilangan sumber legitimasi moralnya sebagai agen penegak hukum.
Menurut kami, MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan tersebut. Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran. Vested interests dan ambisi pribadi terhadap kekuasaan hanya akan meruntuhkan lembaga konstitusi.
Kami juga ingin menyampaikan pandangan bahwa seorang hakim MK yang terbukti melanggar etik, maka dia tidak punya kualitas sebagai negarawan. Negarawan sejati adalah orang yang tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhkan sanksi pelanggaran etika.
Negarawan yang sesungguhnya bukan hanya tidak akan melanggar hukum, tetapi dia akan sangat menjaga etika pribadi atau pergaulan dan terutama etika bernegara. Negarawan tanpa etika moral batal demi hukum kenegarawanannya. Dan karenanya, tidak memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi.
Berdasarkan uraian di atas, dengan segala hormat dan demi menjaga martabat serta kredibilitas MK, maka kami meminta Profesor Arief Hidayat untuk mundur sebagai ketua dan hakim MK."
Konsekuensi sederhana dari keputusan MK tersebut, menurut pandangan publik, beberapa hari ke depan, akan ada suatu proses politik di DPR RI, sesuai mekanisme yang berlaku; DPR RI akan melakukan pemangkasan wewenang, tugas, fungsi KPK ketika memberantas Korupsi serta menangkap Koruptor.
Apa memang seperti itu? Bisa saja terjadi. Karena agenda tersembunyi di balik Hak Angket KPK adalah 'Pelemahan KPK.' Namun, Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Pansus Hak Angket KPK, menolak hal tersebut. Juli 2017 yang lalu, kepada media  Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan bahwa,
"Inti dari Pansus Hak Angket KPK adalah permasalahan bahwa KPK yang sejak berdiri tahun 2002 tidak mendapatkan pengawasan yang cukup, belum pernah di evaluasi dan di audit kinerjanya.
Mari kita renungkan, waktu 15 tahun bukanlah sebentar. 15 tahun adalah kesempatan yang diberikan negara kepada KPK untuk menunjukkan signifikansinya sebagai lembaga superbody, super kewenangan, super sumber daya dan super anggaran dalam penegakan hukum.
Dalam 15 tahun tersebut dengan segudang kewenangannya, siapa yang bisa menjamin kewenangan penyadapan KPK tidak eksploitatif? Siapa yang bisa tahu KPK tidak menyadap semua pihak tanpa ada dasar dugaan awal? Siapa yang bisa memastikan kalau KPK tidak menyadap semua pihak, karena KPK ingin melihat semua pihak dalam semua hal? Saat ini Indonesia telanjang di hadapan KPK."
Jakarta News
Nah .....Â
Jika memaknai korupsi sebagai tindakan seseorang dan kelompok yang menguntungkan serta memperkaya diri sendiri, keluarga, dan juga dan orang-orang dekat. Tindakan itu, dilakukan [secara sendiri dan kelompok] melalui penggelapan dan penyelewengan; manipulasi data keuangan, data jual-beli, dan lain-lain.
 Korupsi bisa dilakukan oleh siapa pun, pada semua bidang pekerjaan, kedudukan, jabatan; pada tataran institusi atau lembaga pemerintah, swasta, maupun organisasi keagamaan.  [Dan karena ada 'sisi positifnya, itu tadi, memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok. Jadi, jika ingin disebut pahlawan (dalam)  kelompok -- keluarga -- parpol -- dan mau disebut orang yang baik hati, suka membantu, suka menolong, suka amal, dan seterusnya, maka korupsi lah anda.Â
Toh hasil korupsi (dan banyak uang) bisa menjadikan anda sampai ke/menjadi anggota parlemen, pengurus partai, orang terkenal, dan seterusnya]. Maka tidak heran kalau banyak orang atau kelompok yang melawan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk memberantas korupsi serta memenjarakan koruptor.
Bisa jadi, upaya pelemahan KPK, yang dilakukan melalui 'topeng legal dan sesuai Undang-undang' tersebut, hanyalah upaya TSM untuk pelemahan KPK. Proses dan tindakan-tindakan, dengan topeng Hak Angket, pelemahan KPK itu, tercermin dari ungkapan Agun Gunandjar Sudarsa, Ketua Pansus Hak Angket KPK, bahwa, "Siapa yang bisa memastikan kalau KPK tidak menyadap semua pihak, karena KPK ingin melihat semua pihak dalam semua hal? Saat ini Indonesia telanjang di hadapan KPK." Â Agaknya, DPR RI 'tidak mau' mereka ditelanjangi oleh KPK; paling tidak KPK tak membongkar kelakuan korup sejumlah politisi dan aparat Negara.Â
Kini, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
MK sudah memutuskan; publik tidak menerima, KPK kecewa, kalangan Kampus meminta agar Ketua MK mundur; mungkin hanya politisi, aparat, dan pejabat korup yang bersukacita. Lalu, apa yang bisa kita, anda dan saya, lakukan? Mungkin yang paling mudah adalah rapatkan barisan dan melakukan tekanan publik melalui berbagai aksi, orasi, narasi, dan publikasi, atau bahkan membangkitkan kesadaran publik agar mereka ikut mempertahankan hak, wewenang, fungsi KPK.Â
Opa JappyÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H