Ba'a, Rote Nusa Tenggara Timur---Hidup dan Kehidupan manusia selalu ada dalam bentangan dan batasan maya dan nyata; ia dibatasi secara geografis, pangkat, jabatan, profesi, jenjang, dan struktur serta strata lainnya. Walau seperti itu, manusia atau seseorang, karena naluri mobilitas dan perubahan sikon dirinya, dapat berpindah atau pun beralih secara geografis, srata, jenjang, dan seterusnya. Semuanya itu, bisa terjadi karena manusia memilik budaya, kebudayaan, serta unsur-unsur budaya yang mempermudah hidup dan kehidupannya.
Tentang Kebudayaan dan Kognisi
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.Â
Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada. Juga, kebudayaan berkembang karena adanya kemampuan kognisi pada manusia; kognisi tersebut menjadikan manusia menghasilkan sejumlah unsur, benda, kegiatan, kebiasaan, dan lain sebagainya yang sering disebut Hasil-hasil atau unsur-unsur Kebudayaan.Â
Kognisi juga bisa merupakan keseluruhan kemampuan otak dalam menerima, menyimpan, dan mengingat kembali semua input yang masuk atau dimasukkan (secara sengaja dan tidak sengaja) ke dalamnya. Â Pada konteks itu, Naomi Quinn dan Dorothy Holland menyatakan bahwa,
"Ada kaitan antara budaya dan kognisi; ada semacam kongnisi makna yang bersifat budaya; dari situ, muncul dari sudut pandang perspektif antropologi, yang melihat kebudayaan sebagai pengetahuan bersama. Dan bukan sekedar adat, artefak, tradisi lisan, melainkan agar masyarakat ketahui sehingga dapat berperilaku, menafsirkan pengalaman, serta bertindak sesuai apa yang mereka ciptakan.
Pada masyarakat, ada kaitan erat dengan kebiasaan atau perilaku, unsur-unsur budaya memberi pengaruh kepada perilaku, dan juga sebaliknya. Dan dalam hubungan timbal-balik seperti itu, semua elemen di/dalam komunitas (yang sama-sama sebagai dan pengguna unsur-unsur dan hasil kebudayaan) selalu bertambah kognisinya; dan dengan itu semakin memperkaya atau bahkan memiskinkan warisan unsur-unsur budaya yang ada padanya. Ini terutama pada mereka yang telah mengalami sentuhan dengan Masyarakat Modern yang tidak melupakan unsur budaya tradisionalnya.
Sebaliknya, pada masyarak tradisional, misalnya masyarakat adat di wilayah kota-kota kecil, pedalaman, setiap kognisi baru, yang sekiranya (yang menurutnya bisa)Â bertantangan atau berbeda dengan unsur-unsur dan warisan budaya (yang berlaku dan masih ada) pada komunitasnya, maka akan dipendam; artinya hanya sekedar menjadi kognisi, namun tak digunakan atau aplikasikan. Hal itu terjadi, karena masih ada rasa segan, hormat, dan nilai-nilai budaya serta tuturan orang tua (ingat bahwa warisan budaya berupa jangan ini dan jangan itu, filosofi hidup, biasanya ada karena hasil tuturan); jika melanggar tuturan itu, maka akan disamakan dengan telah melawan dan melanggar adat.
Sedikit Catatan dari Quinn, Naomi dan Holland, Dorothy. 1987. "Culture and Cognition" dalam Cultural Models in Language and Thought. New York: Cambridge University Press.
Sama halnya dengan Orang Rote atau 'Hataholi Lotek,' salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur. Pulau, bersama pulau Ndao merupakan Kabupaten terselatan di Nusantara, yang penduduknya, pada masa lalu, akrab dan bergantung pada pohon Lontar atau Siwalan (Latin, Borassus Flabellifer) sejenis palem batang tunggal, bisa mencapai tinggi 30 m, berbatang kasap, agak kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah.