Agaknya, hal-hal tersebut di atas, belum sampai pada tataran masyarakat desa - pedesaan - tradisional, yang kental hal-hal praktis; dan yang paling banyak menjadi korban (terbanyak) adalah anak-anak perempuan.
Pada banyak kasus; mereka (anak-anak perempuan tersebut), tidak sedikit, dengan alasan asal sudah bisa baca bahasa Indonesia, maka tak perlu ikuti pendidikan yang lanjut, sehingga harus menikah.
Dan sebagian besar dijodohkan orang tua, serta tak sedikit yang dinikahkan sebagai bukan isteri pertama, dengan laki-laki yang layak sebagai ayahnya.
Model seperti itulah yang banyak terjadi di berbagai pelosok negeri, dan belum berubah atau sulit dirubah!?
Pada masa kini, bukan zamannya lagi perkawinan usia remaja, melainkan ada mode pengantin pra-remaja; mereka menikah sebelum berusia remaja atau terpaksa kawin pada usia belasan tahun atau anak-anak.
Perkawinan (pada usia) Anak, umumnya berdampak pada hal-hal yang lainnya, seperti laju pertumbuhan penduduk (angka kelahiran yang tinggi), kematian ibu pasca melahirkan (karena dukungan fisik yang belum mampu untuk melahirkan); tingginya kelahiran (bayi) prematur (belum saatnya) dan kematian balita; dan juga banyak perceraian.
Solusi Segera.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise, di Hotel Horison, Bandung, sejak Juli 2017 yang lalu, sudah berencana mengajukan revisi terkait batas usia pernikahan di dalam undang-undang, menyusul maraknya pernikahan usia dini, namun hingga kini, belum ada tanda-tanda kemajuannya. Oleh sebab itu, perlu dukungan semua pihak, terutama para politisi, bisa merevisi Undang-undang Perkawinan, khususnya pengubahan batas usia pernikahan; perempuan dari minimal 16 tahun menjadi 18 tahun; laki-laki menjadi 21 tahun.
Semoga.
Opa Jappy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H