Sekitaran Universitas Indonesia, Depok--Tahun-tahun terakhir ini, sudah menjadi tren pada para pekerja atau buruh. Ada aneka alasan yang menjadikan mereka, para buruh tersebut, berunjuk rasa.
Secara khusus, para buruh, berunjuk rasa di DKI Jakarta, dengan tuntutan adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMRegional di DKI; dan biasanya menolak penepatan dari Pemda berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Buruh menolak, dan menuntut lebih dari yang telah ditetapkan; karena menurut mereka perusahan - pengusaha mempunyai dana lebih dari hasil kerja mereka, dan Pemda DKI tidak berpihak ke/pada buruh.
Agaknya tuntutan kenaikan tersebut, telah menjadi pro-kontra. Â Sementra para pengusaha di DKI (dan mungkin saja di kota-kota sekitar Jakarta) sudah menjerit. Mereka menjerit, bukan saja upah buruh harus dinaikan, namun juga biaya produksi yang naik akibat kenaikan harga barang baku dan ongkos-ongkos siluman dari sana-sini, (Note: Agar ada kesediaan dana untuk biaya-biaya siluman, maka salah cara melalui gaji pekerja yang murah).
Selain itu, seiring dengan perkembangan giat ekonomi, kebutuhan serta kenaikkan biaya hidup minimal dan layak, tentu saja berimbas pada para buruh dan keluarganya. Ini berarti, untuk efisiensi, efektivitas, dan kelangsungan kerja (pabrik, produksi), maka pengusaha harus menaikkan gaji para pekerja. Bukan mengPHKkan para pekerja (buruh)nya, daripada harus menambah biaya atau gaji.
Sayangnya, yang terjadi adalah, dengan berbagai alasan, maka, pada umumnya, kenaikkan UMP tersebut tak seimbang dengan biaya hidup minimal.
Lalu, yang kemudian terjadi adalah buruh sering tinggalkan pekerjaan untuk demo atau unjuk rasa.
Jika seperti itu, siapa yang rugi!?
Namun, harus diakui bahwa seringnya sejumlah atau rangkaian unjuk rasa/demo yang dilakukan oleh elemen-elemen buruh, tentu saja, membuat banyak orang (termasuk diriku) bertanya-tanya, "Memangnya para buruh tersebut tak bekerja, sehingga melakukan demo yang tak berkeputusan!?"
Atau memang, para pemilik/pemimpin perusahan-pabrik, sudah sangat bermurah hati, sehingga membiarkan pekerja tinggalkan pekerjaan untuk melakukan demo!? Plus, unjuk rasa buruh, juga menyumbangkan kemacetan di berbagai are publik atau pun pusat kegiatan demo.
Berdasarkan semuanya itu, untuk mengurangi atau pun meminimalisir unjuk rasa atau pun aksi buruh (terkait upah), maka selayaknya Pemda di Indonesia (tak hanya di Jakarta) lebih peka, jeli, akomodatif terhadap aspirasi buruh.
Dengan itu, Pemda dan pengusaha mampu merubah sikon, "Para buruh harus menerima gaji murah karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya."
Nah, jika ada janji atau kontrak politik tentang perbaikkan serta peningkatan tarah hidup dan kehidupan buruh, maka itu harus ditepati. Janganlah lakukan pembohongan politik terhadap para buruh, karena mereka termasuk penggerak giat ekonomi.
So, jangan cuma salahkan buruh jika mereka melakukan aksi atau unjukrasa; bahkan unjukrasa tanpa berkesudahan.
Opa Jappy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H