Lenteng Agung, Jakarta Selatan--Doeloe, dalam ingatan masa lalu.
Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 1908, tidak serta merta membangkitkan semangat keesaan dan kebersamaan sebagai Indonesia di Nusantara atau Hindia Belanda. Semangat itu telah ada, namun berjalan pelan dan 'undercover' karena hambatan rezim kolonial. Gerakan 'kalangan tua' 1908, dilihat oleh para pemuda dan mahasiswa dari Nusantara di Belanda, perlu dipercepat; percepatan itu, harus dimulai dari kalangan mahasiswa.
Oleh sebab itu, pada tahun 1925 para mahasiswa asal Nusantara di Belanda membentuk Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda, yang lebih dikenal sebagai Perhimpunan Inddonesia Sesuatu, Â pada masa itu, sangat berani, sebab menohok Pemerintah Kerajaan Belanda dan para petinggi Hindia Belanda di Batavia; karena deklarasi berdirinya di jantung Negara yang menjajah Nusantara.
Pada saat yang sama, Perhimpunan Indonesia juga mengeluarkan Manifesto 1925 bahwa hanya dengan atau adanya unity (kesatuan), equality (kestaraan) dan liberty (kemerdekaan), semua orang di Indonesia dapat menerima dan menciptakan gerakan yang kuat dan terpadu untuk memaksakan kemerdekaan kepada pihak Belanda.
Oleh sebab itu, Perhimpunan Indonesia mengembangkan empat pokok ideologi yaitu, kesatuan nasional, solidaritas, non kooperasi dan swadaya.
Gaung dari Manifesto PPI 1925 itulah, juga harus diakui sebagai salah satu pendorong Kongres Pemuda/i Indonesia di Hindia Belanda.
Sebetulnya, Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April-2 Mei 1926, hanya merupakan rapat akhbar 'Panitia Kongres Putera/i Indonesia' dalam rangka Kongres Pemuda (yang akan diadakan) pada 1928. Pada Kobgres I ini, hadir wakil-wakil Perhimpunan Indobesia di Belanda dan perwakilan seluruh organisasi pemuda di Hindia Belanda saat itu.
Tindak lanjut dari 'Kongres' Pemuda I adalah Kongres Pemuda II pada 27 - 28 Oktober 1928. Pada Kongres inilah menghasilkan dua keputusan utama yaitu Lagu Nasional untuk atau ketika Indonesia sudah Merdeka dan Sumpah Pemuda.
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Kini, Sekian Puluh Tahun Kemudian
Mungkin, dirimu termasuk pemuda/i kekinian, yang  pernah atau ikut 'melakukan gerakan' pada tahun 1974, 1977, 1980an, 1998, dan 13 tahun terakhir.
Era 74, 77, 80an mahasiswa bergerak, namun cepat reda karena di hadang 'sepatu lars' hingga tak berdaya. Hmmm ... jadi ingat, tanda di jidatku; bekas robek terkena pentungan.
Era 98, bisa disebur akumulasi dari Gerakan 74, 77, 80an. Saat itu, sangat banyak para mantan 74, 77, dan 80an mendorong dan supurt para yunior untuk bergerak. Dan, berhasil.
Era 13 tahun terakhir; bisa saya sebut, maaf saja, jika saya sebut sebagai gerakan serba-serbi. Serba-serbi karena sangat banyak yang mereka teriak atau pun tuntut melalui orasi. Misalnya, aksi-aksi mahasiswa atau pun oknum-oknum yang 'atas nama mahasiswa' menolak UU Sistem Pendidikan, Turunkan Harga BBM, Anti Reklamasi, Save Palestina; juga ada aksi berlabel mahasiswa yang menolak Kandidat Kepala Daerah yang beda iman serta mengusung sentimen SARA dan menolak 4 pilar berbangsa dan bernegara.
Agaknya, pada era 13 tahun terakhir, hampir merata di seluruh Indonesia, muncul gerakan kaum muda (yang disokong para tua-tua oposan) dengan kecenderungan terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa serta terjadi skisma sosial.
Melihat kecenderungan tersebut, jika tak dihadang, maka dengan cepat dan pasti, Indonesia (akan) kehilangan jiwa, roh, dan semangat Sumpah Pemuda 1928. Oleh sebab itu, saya setuju, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah nyata untuk menghangatkan kembali Indonesia dengan 'Semangat Sumpah Pemuda' melalui Deklarasi Kebangsaan 2017.
Tak terasa, air mata mengalir dari mata tua ini, ketika ikut bernyanyi Indonesia Raya dalam iringan hujan, teringat sewaktu mahasiswa puluhan tahun lalu, (Note: Saya sempat menegur beberapa anggota Polri dan TNI yang jalan ketika Indonesia Raya dinyanyikan).
Dari Deklarasi Kebangsaan, tadi, saya melihat bahwa masih ada semangat kebangsaan; semangat yang tak luntur walau diterpa goncangan tak sehat 13 tahun belakangan ini.
Masih ada "Jiwa dan Roh Saya Indonesia, Saya Pancasila"
Opa Jappy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI