Bogor--14 Oktober 2015 yang lalu, setahun setelah mereka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, saya menulis, "Ketika Jokowi-JK asyik dengan tata kelola pemerintahan, termasuk pelaksanaan program pembangunan, mereka lupa pada hal-hal yang penting, bahkan sangat mendesak untuk dibereskan. Hal tersebut adalah masalah intolerasi di Nusantara. Intoleransi yang di dalamnya melahirkan  hubungan tidak nyaman antar umat beragama, bahkan telah memicu konflik sosial dan berujung pada adanya korban luka serta meninggal dunia, (Opa Jappy | Kompasiana)."
Setelah waktu itu, saya dan juga sejumlah aktivis dan pemerhati HAM, terus menanti 'jamahan' Jokowi-JK pada area itoleransi dan pelanggaran HAM tersebut.
Kini, tiga tahun kemudian atau setelah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sikonnya nyaris tak berubah.
Karena itu, saya setuju dengan Amnesty Internasional Indobesia bahwa Pemerintah Pusat gagal menghadapi Kelompok-kelompok atau pun Intoleran. Pada periode tiga tahun Jokowi-JK, Oktober 2014 hingga Oktober 2017, yang terjadi adalah
- Adanya sejumlah oknun yang merekrut orang Indonesia menjadi laskar atau pejuang di luar negeri
- Pemda Jabar dan  Pemerintah Pusat belum berhasil membuka kembali gereja GKI Taman Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi
- Pada 12 Oktober 2015 Pemda Aceh menutup 10 gereja Protestan di Desa Suka Makmur, di Gunung Meriah, Aceh Singkil.
- Di Depok, Jawa Barat. Wali Kota Depok menyegel mesjid yang digunakan komunitas Ahmadiyah.
- Pembubaran kegiatan-kegiatan Terkait Peristiwa 1965
- Sejumlah demo yang dilakukan ormas dengan mengusung Sentimen SARA, khususnya menyangkut Pilkada DKI Jakarta.
Selain itu, tak terhitung foto, gambar, poster, selebaran, video, orasi, dan narasai yang bertebaran di Medsos (yang) Â bersumber dari dari 'kelompok yang itu-itu juga.' Hal tersebut terjadi, karena diperparah oleh 'dorongan dan dukungan' dari para tokoh dan politisi intoleran.
Agaknya, pemerintah cukup gamang untuk bertindak dalam rangka 'memgembalikan' citra bangsa; citra bangsa yang penuh toleransi, keramahan, saling pengertian dan memahami pada ruang interaksi sosial (pada tataran dan ruang publik) yang penuh damai dan tanpa curiga.
Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat, perlu melakukan langkah tegas yang terstruktur, sistimatis, dan masif dalam rangka upaya 'mengembalikan' citra bangsa terebut.
Upaya itu, yang TSM tersebut, harus diperkuat dengan landasan hukum yang kuat. Karena itu Pemerintah mengeluarkan
Perppu Nomor 2/2017, dan kini menjadi Undang-undang, mengganti UU Nomor 17 Tahun 2013 yang dinilai belum pas.
Dengan pengesahan tersebut, saya pun setuju dengan Presiden Joko Widodo, yang menyatakan bahwa, "Jelas sekali, untuk menjaga persatuan kita; untuk menjaga kebinekaan kita; untuk menjaga ideologi negara kita, yaitu Pancasila; dan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Bravo Jokowi