Sekitaran Universitas Indonesia, Depok--Hanya gara-gara rencana pemesanan dan pembelian 5 (lima), kemudian jadi 50, 500, 5000, 50.000, 500.000; kembali ke 5000 pucuk pistol (dan entah berapa jumlah yang sebenarnya), bukan senjata serbu semi-otomatis dan otomatis, terjadi polemik serta silang pendapat sana-sini.
Bayangkan, para petinggi Lembaga Negara yang akrab dengan mesiu, saling balas-membalas pendapat (sementara rakyat sipil menonton dengan tak paham) tentang boleh tidaknya, tujuan, kegunaan, dan jumlah pistol (yang) akan dipesan dibeli.
Bahkan, saling silang dan silang saling bantah serta pembenaran, pembelaan para petinggi itu, menurut saya, baru terjadi sekarang (lagi). Doeloe memang pernah ada; misalnya kasus puluhan Kapal Perang bekas dari Belanda dan Panser atau Tank dari Jerman. Waktu itu, institusi yang menerima dan pengguna Kapal Perang dan Panser, hanya bisa diam; tak berani komentar tentang mengapa dan siapa yang membeli.
Kembali ke rencana membeli 5 ... (bingung mau nambah berapa angka 0, karena tak ada kepastian jumlah) pistol oleh, katanya, Polri atau pun BIN, atau dua-duanya, atau oleh Si X agar digunakan oleh Polri dan BIN. Sekali lagi tak jelas.
Publik (rakyat sipil) hanya melihat dan mendengar Menko Polkam, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN saling silang omong di Media Pemberitaan, Media Penyiaran, dan Media Cetak. Sayangnya, tak satupun yang memberikan kepastian tentang rencana pembelian 5 ... pucuk pistol tersebut.
Tadi pagi, ketika meeting di Bogor, di sela-sela percakapan, seorang teman bertanya, "Sebetulnya kita punya atau tidak Undang-undang tentang Tata Cara Pembelian Senjata?" Pertanyaan yang bagus, menyadarkan semua yang hadir. Ya, adakah Undang-undang tersebut?
Nah ...
Saya jadi ingat pada salah satu teman "Pensiunan Bintang," menurutnya, ada Peraturan Menteri Pertahanan tentang Pangadaan atau pembelian perlengkapan perang atau senjata; ada mekanismenya di Kementerian Pertahanan. Ketika saya bertanya, apakah diatur oleh Undang-undang yang khusus untuk itu, teman saya tak beri jawaban yang pasti.
Ketika, tadi, saya mencoba menemukan produk Parlemen berupa 'Undang-undang tentang Pembelian atau Pengadaan Alat Perang,' ternnyata (memang) tak ada. Yang ada 'hanya' Peraturan kepemilikan senjata api di Indonesia, yaitu
- Ordonansi Bahan Peledak (LN. 1893 No. 234) diubah terakhir menjadi LN. 1931 No. 168 tentang Pemasukan, Pengeluaran, Pemilikan, Pembuatan, Pengangkutan, dan Pemakaian Bahan Peledak;
- UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api;
- UU Darurat No. 12 Tahun 1951 LN No. 78 Tahun 1951 tentang Peraturan Hukuman Istimewa Sementara;
- UU No. 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan menurut UU Senjata Api;
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
- Kepres RI No. 125 Tahun 1999 tentang Bahan Peledak;
- Permenhan No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perijinan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer di Luar Lingkungan Kemenhan dan TNI;
- Peraturan Kapolri No. 13/X/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik Untuk Kepentingan Olahraga;
- Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial;
- SK Kapolri No. SKep/82/II/2004 perihal Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/Polri.
Hanya itu yang didapat; mungkin ada, tapi sudah malas mencari, karena naluri saya katakan, "Memang tak ada."
Jadi, jika benar tak ada Undang-undang tentang Pembelian atau Pengadaan Alat Perang, maka, menurut saya, wajar jika Polri atau pun BIN, Paspampres, atau lembaga lain (terutama aparat keamanan) berencana membeli senjata untuk kepentingan mereka. Dan itu, tak ada larangan atau melanggar Undang-undang mana pun.