Pondok Cina, Depok--Senin 17 Juli 2017, KPK umumkan  Setya Novanto sebagai  tersangka Kasus Korupsi e-KTP. Novanto sebagai anggota DPR 2009-2014 diduga memiliki peran pada proses pengadaan e-KTP. Mulai perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa.
Penetapan sebagai tersangka tersebut, belum diikuti dengan 'penyematan rompi oranye KPK' terhadap Novanto. KPK masih berbaik hati pada Novanto, ia belum naik status menjadi Anggota Dewan Terhormat yang ditahan KPK. Novanto masih menikmati kebebasan dan fasilitas sebagai Pejabat Tinggi Negara.
Agaknya, karena kebebasan tersebut, Novanto dan para pendukungnya melakukan upaya Praperadilan. Suatu upaya hukum, yang sederhanya, untuk menunjukkan bahwa 'aparat hukum -dhi. KPK- telah salah memutuskan,' dan Novanto tak bersalah sehingga bebas dari proses peradilan selanjutnya. Praperadilan  telah didaftarkan dengan nomor register 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel; menggugat status tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Sidang perdana praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto digelar 12 September.  Sidang pertama praperadilan (akan) diadakan  pada Selasa, 12 September 2017, 09.00 WIB di PN Jaksel.
Upaya Hukum yang Biasa
Memang praperadilan adalah hal umum dalam proses hukum. Oleh sebab itu, Setya Novanto, sebagai rakyat biasa, Ketua Umum Golkar, dan juga Ketua DPR menggunakan hak konstitusi untuk melakukan pembelaan melalui praperadilan. Sesuatu yang biasa dan tak ada  istimewa.
Perlawanan Terhadap Hukum?
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, para pendukung Setya Novanto, melalui media (pemberitaan, penyiaran, cetak) tak henti-hentinya menyuarakan pembelaan. Pembelaan yang cenderung berisi perlawanan terhadap KPK, dan bersikeras bahwa Novanto tak bersalah.
Berdasar itu, publik, termasuk saya, menilai bahwa upaya Praperadilan tersebut, hanyalah 'uji coba' perlawanan yang dilindungi Undang-undang. Di sini, Novanto berupaya mencari celah dan kekosongan hukum (Undang-undang) agar ia bisa lari melalui celah dan kekosongan tersebut. Ya, semacam upaya terakhir; jika berhasil, maka ia tak diadili sebagai koruptor.
Dengan demikian, pada  persidangan praperadilan, Novanto (akan) melakukan perlawanan sekuat mungkin agat lolos dari jalan menuju persidangan, di situ, ia akan duduk sebagai terdakwa.
Reaksi KPK