Sederhananya, demokrasi merupakan suatu sistem tata kelola (dan juga pembagian kekuasaan) negara; mereka yang menatakelola itu disebut pemerintah. Mereka berperan sebagai pelayan publik atau menciptakan kemudahan agar rakyat, secara holistik, terpenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya. Jadi, jika rakyat mengalami penghambatan, sukar, sulit terpenuhi kebutuhannya, maka bisa saja ada yang tak beres pada tata kelola pemerintah.Â
Demokrasi itu tak rumit, apalagi jika para pelayan publik tersebut bekerja sesuai tanggungjawab dan fungsinya. Agaknya, para peletak dasar berbangsa dan bernegara, melihat bahwa di Indonesia, tidak cukup hanya pada demokrasi.(titik)
Mungkin mereka melihat bahwa jika hanya "demokrasi," belum cukup menampung serta memayungi keanekaragaman aspek di Nusatara. Oleh sebab itu, mereka lengkapi demokrasi menjadi Demokrasi Pancasila
Jadinya, Demokrasi Pancasila merupakan adaptasi kontekstual dari bangunan dan makna demokrasi yang universal. Pada konteks itu, sila dalam Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dala permusyawaratan /perwakilan," merupakan landasan utama berdemokrasi di Indonesia.
Sehingga ada dua cara untuk membuat kebijaksanaan atau keputusan. Yaitu dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat atau kata sepakat. Kata sepakat tentu diambil dengan memperhatikan suara atau aspirasi mayoritas dan minoritas.
[Tak Ada] Peran Amin Rais pada Pembangunan Demokrasi Pasca Reformasi
Amin Rais memiliki latar pendidikan yang mentereng. 1968 lulus dari Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada;  1974 Notre Dame Chatholic University Indiana, USA; 1981 Al-Azhar; 1984 Chicago University; dan 1989-1989 Post Doctoral Degree dari George Washinton University. Foku studi Amin Rais adalah Politik dan Politik Islam. Ia  memiliki pengetahuan yang sangat luas terutama mengenai hak asasi manusia dan demokrasi.
Amin Rais bukan sekedar ahli politik tapi juga seorang politikus, sehingga bisa menjadi salah satu penggerak reformasi 1998 dan Ketua MPR era 1999-2004.
Dengan modal tersebut, dan berbagai pengalaman sebelumnya, sebetulnya Amien Rais mampu berkontribusi pada pembangunan "Bangunan Demokrasi Pancasila," khususnya di Indonesia. Ia bisa menjadi Soko Guru Pembangunan Demokrasi menuju Indonesia yang kebih baik.
Sayangnya, Amin hanya mampu melihat "kebobrokan" Â negara Indonesia, dilanjutkan kritik tajam tanpa solusi cerdas.
Belakangan, Amin Rais melakukan langkah raksasa yaitu menyatu diri dengan Kelompok-kelompok Intoleran, radikal, rasis dan juga Anti Pemerintah serta simbol-simbol pemersatu bangsa. Bahkan dari mulut, katanya Bapak Demokrasi itu, lebih banyak keluar ujar kebencian, termasuk teriakan tak bermutu berisi sentimen SARA.
Tak Memberi Pembelajaran Demokrasi
Berdasar semuanya itu, menurut saya, dengan kualitas dan kapasitas diri Amin Rais yang luar biasa, ia hanya mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan kelompok PAN serta Muhammadyah. Tak lebih dari itu.
Amin Rais, tak seperti pemuka bangsa lainnya, yang berupaya mendorong dan menyokong pemerintah agar menjadi lebih baik, tapi merusaknya. Ia tak tampil sebagai "Yang Menenangkan Rakyat" melainkan mengprovokasi umat.
Kini, apalagi setelah kasus Rp 600 juta, agaknya Amin Rais akan segera raib dari area dan arena publik. Mungkin saja, Amin Rais akan dikenang sebagai tokoh merepotkan, bukan mereformasi.
Dan, faktanya, sejak tampilnya Amin Rais di Perpolitikan Indonesia, ia selesai sebagai Ketua MPR; selebihnya, ia hanya menjadi oposisi tak cerdas.
So, Amin Rais tak memberikan kontribusi apa pun pada Bangunan Demokrasi Pancasila.
Dari Medan Satria Bekasi
Opa Jappy
Ketua Komunitas Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H