Pertanyaannya, samakah arti ulil amri dan auliya? Apakah makna dari auliya itu pemegang kekuasaan?
Terkait dengan soal pemimpin politik/pengelola pemerintahan/pemegang kekuasaan, kata yang tepat adalah ulil amri. Sedangkan pada semua ayat yang melarang orang beriman (bukan orang Islam, sekali lagi orang beriman), untuk mengangkat pemimpin dari orang kafir, kata yang dipakai adalah auliya. Jadi, menurut Nini Hamid, alih-alih ingin memuliakan Islam, yang terjadi malah merendahkan kedudukan auliya, dengan menyamaratakan tafsirnya sebagai pemimpin politik.
Auliya itu secara maknawi lebih tinggi derajatnya dari ulil amri. Auliya mutlak harus orang beriman, tidak peduli sedang berkuasa atau tidak, auliya harus tetap ada dan berasal dari kalangan orang beriman. Kata auliya terdapat pada banyak ayat, sedangkan ulil amri hanya ada pada dua ayat, pada surat An-Nisa ayat 48 dan 59 tersebut di atas.
Kedudukan ulil amri tidak selalu mulia, kadang bisa jadi terhina. Karenanya ulil amri tak selamanya berasal dari kalangan orang beriman. Sangat berbeda dengan makna auliya. Auliya tak boleh terhina, sebab auliya harus orang beriman.
Di samping itu, Nini Hamid, juga prihatin dengan sikap umat Islam yang meninggikan arti ulil amri, dibuat setara dengan auliya. Padahal ulil amri itu hanyalah pemimpin politik yang bisa mengalami menang dan kalah serta dipergilirkan kekuasaannya. Juga, pada masa Rasulullah dan khalifah berikutnya (sampai Ali bin Abu Thalib), semua ulil amri merangkap juga sebagai auliya, namun berikutnya, belum tentu serupa.
Dalam kaitannya dengan Ahok yang Kristen, menurut Nini Hamid, ia adalah ulil amri, bukan auliya. Ahok bisa mulia atau hina bergantung kepada caranya mengelola pemerintahan. Janganlah sekali-kali kita menyamakan kedudukan gubernur sebagai auliya, karena hal tersebut malah merendahkan makna auliya. Allah lebih tahu keadaan hamba-Nya, oleh karena itu Allah membedakan status ulil amri dengan auliya. Qs. Ali Imran ayat 28: “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Siapa yang berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.” Dan Qs. An-Nisa ayat 144: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?”
Selain kesalahan dalam memahami arti auliya yang dimaksudkan oleh ayat tersebut, ada satu lagi kesalahan fatal yang sangat mempengaruhi pola pikir umat Islam. Tertanam stigma pada lingkungan mayoritas muslim, bahwa orang yang mengaku beriman saat ini adalah orang yang identitasnya di KTP beragama Islam.Dan kemudian orang yang ber-KTP Islam menganggap kafir kepada orang yang identitas agama dalam KTP-nya tertulis selain Islam.
Pemahaman itu, menurut Nini Hamid adalah salah kaprah.Ayatnya sudah pasti benar, tapi bagi orang yang mengaku beriman hanya karena identitas di KTP-nya Islam, itu menurut penulis yang tidak benar. Penulis khawatir, itu hanya pengakuan sepihak, sedangkan dalam pandangan Allah, iman itu belum masuk dalam hatinya.
So, masih hal yang menarik di Kenapa “Percaya” Saya Buat Ahok!?