Komnas Perempuan bekerja sama dengan lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia , berhasil mengumpulkan data tentang korban kekerasan terhadap perempuan; data tersebut menunjukkan bahwa 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual per hari hari. Dari data tersebut, 42-58 % adalah pemerkosaan, termasuk terhadap anak-anak perempuan.
[Note: Dampak kekerasan seksual seperti pemerkosaan, mengancam masa depan korban. Sebab, kekerasan seksual merusak fisik (cacat, kematian), psikis (depresi, trauma), seksual (rusaknya organ seksual) dan relasi sosial (pengucilan, dampak dari stigamtisasi), mempengaruhi pendapatan ekonomi dan pendidikan korban kekerasan seksual. Dampak kekerasan seksual pada anak lebih laten, sebab, mayoritas anak menyimpan rahasia kekerasan seksual dalam waktu jangka panjang. Jika, mereka mengalami kekerasan seksual dari antara sanaknya, maka sulit diatasi oleh keluarga besar. Akibat menanggung beban kekerasan seksual sendiri, membuat anak menjadi rentan mengalami masalah dalam hubungannya dengan pasangan di masa depan, tak sedikit anak harus keluar dari sekolah karena dikucilkan atau merasa malu akibat menjadi korban kekerasan seksual].
“Data Menggerikan” tersebut, apalagi ditambah dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan atau terpublikasi, maka bisa jadi jumlah perempuan (dan anak-anak perempuan) korban kekerasan seksual di Indonesia lebih dari angka 35 orang per hari. Dari angka 35 orang per hari saja, sudah cukup memberi status “berbahaya dan darurat” bagi perempuan Indonesia di berbagai tempat di Nusantara.; mereka mudah sebagai korban kekerasan sekual.
“Status” tingginya angka kejahatan terhadap perempuan tersebut, disertai berbagai dampak ikutan secara psikologis, pendidikan, sosial, rohani, jasmani, itulah yang menggugah berbagai pihak untuk ikut ambil bagian pada upaya pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia; dan sedapat mungkin meniadakannya. Mereka mereka bereakasi sesuai bidang dan ruang lingkup masing-masing. Upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan, memang tak gampang dan mudah, namun hal tersebut harus dilakukan oleh semua elemen bangsa.
Pencegahan kekerasan seksual, bukan cuma melalui tagar di Medsos, ungkapan keprihatinan, talk show, dan lain sebagainya, melainkan melaui aksi nyata yang Terstruktur, Masif, dan Sistimatis. Pendapat yang sama disampaikan oleh beberapa perempuan Indonesia lainnya. Mba Adhe, Jakarta, perlu perlindungan hukum pada korban kekerasan seksual dan pendampingan psikologis yang tak terbatas waktunya, hingga mereka benar-benar pulih; dan itu atas biaya negara. Suwadi Sripeni, di Singapura, mengusulkan hukuman seberat-beratnya pada Pelaku Kekerasan Seksual. Ita Tarigan di Jakartaa, Negara harus meberi efek jera, dan beri hukuman kebiri. Eni Mardiyanti di Kudus, menyatakan pelaku harus mendapat hukuman sosial. Anna Jap dari Kudus, berpendapat bahwa perlu edukasi menyeluruh tentang bagaimana perempuan menjaga diri dari kekerasan seksual, bila perlu dilatih bela diri. Dwi Indah dari Bali, menyatakan bahwa para pelaku harus dihukum mati, agar tak ada orang berniat lakukan kejahatan seksual.
Selain sedikit pendapat publik di atas, lembaga-lembaga keagamaan, pemerintah, politisi, dan lembaga-lebaga swadaya masyarkat pun, lebih gencar lagi berseru dan mengedukasi warga agar “sadar keamanan diri” sehingga tak menjadi korban kekerasan seksual. Misalnya,
Para politisi perempuan dari PDIP, yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen FPDIP DPR RI sepakat, mengajukan RUU PKS atau Penghapusan Kejahatan Seksual. Usulan RUU PKS didorong oleh situasi darurat kejahatan seksual, naiknya frekwensi, dan makin parahnya bentuk kejahatan seksual yang menimpa anak-anak, remaja serta perempuan Indonesia. Mereka akan mobilisasi tandatangan seluruh Aleg Perempuan Lintas Fraksi di DPR RI agar bersama-sama mengajukan usulan ke Pimpinan dan Ketua Baleg DPR begitu sidang dibuka setelah reses pertengahan Mei 2016. KPP FPDIP berharap insiatif pengajuan RUU PKS segera diwujudkan menjadi UU PKS sehingga ada langkah kongkrit pada upaya pemberantasan Kejahatan Seksual; suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang nyaris telah menjadi lingkaran setan, terus menerus terjadi pada berbagai daerah di Indonesia.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selasa, 10 Mei 2016, setelah rapat koordiansi antarmenteri di kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengatakan, “Hukuman terhadap pelaku pemerkosaan akan ditingkatkan dari 15 tahun menjadi 20 tahun penjara, bahkan sampai hukuman seumur hidup. Bahkan hukuman mati bila korban sampai meninggal dunia. Selain itu, pelaku pemerkosa akan dipublikasi secara luas; hukuman publikasi tersebut hanya berlaku kepada pelaku pemerkosaan yang sudah dewasa. Sedangkan pelaku pemerkosaan yang masih di bawah umur tetap berlaku asas lex spesialis, yakni dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.”
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani
Menurut Puan. “Selain pemberatan hukuman, identitas pelaku kejahatan seksual juga akan dipublikasikan kepada publik. Sehingga publik tahu orang tersebut melakukan hal di luar kemanusiaan. Selain hukuman tersebut, pelaku pemerkosaan akan dikenai sanksi sosial agar menimbulkan efek jera serta memberikan shock therapy bagi orang lain. Teknisnya akan dibahas. Selama masa hukuman, pemerintah akan memberikan pendampingan dan rehabilitasi bagi pelaku. Sehingga diharapkan pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya.”