Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencegah dan Membatasi Ruang Gerak Pelaku Kekerasan Seksual

14 Mei 2016   17:41 Diperbarui: 26 November 2018   11:15 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komnas Perempuan bekerja sama dengan lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia , berhasil mengumpulkan data tentang korban kekerasan terhadap perempuan; data tersebut menunjukkan bahwa 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual per hari hari. Dari data tersebut, 42-58 % adalah pemerkosaan, termasuk terhadap anak-anak perempuan.

[Note: Dampak kekerasan seksual seperti pemerkosaan, mengancam masa depan korban. Sebab, kekerasan seksual merusak fisik (cacat, kematian), psikis (depresi, trauma), seksual (rusaknya organ seksual) dan relasi sosial (pengucilan, dampak dari stigamtisasi), mempengaruhi pendapatan ekonomi dan pendidikan korban kekerasan seksual. Dampak kekerasan seksual pada anak lebih laten, sebab, mayoritas anak menyimpan rahasia kekerasan seksual dalam waktu jangka panjang. Jika, mereka mengalami kekerasan seksual dari antara sanaknya, maka sulit diatasi oleh keluarga besar. Akibat menanggung beban kekerasan seksual sendiri, membuat anak menjadi rentan mengalami masalah dalam hubungannya dengan pasangan di masa depan, tak sedikit anak harus keluar dari sekolah karena dikucilkan atau merasa malu akibat menjadi korban kekerasan seksual].

“Data Menggerikan” tersebut, apalagi ditambah dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan atau terpublikasi, maka bisa jadi jumlah perempuan (dan anak-anak perempuan) korban kekerasan seksual di Indonesia  lebih dari angka 35 orang per hari. Dari angka 35 orang per hari saja, sudah cukup memberi status “berbahaya dan darurat”  bagi perempuan Indonesia di berbagai tempat di Nusantara.; mereka mudah sebagai korban kekerasan sekual.

“Status” tingginya angka kejahatan terhadap perempuan tersebut, disertai berbagai dampak ikutan secara psikologis, pendidikan, sosial, rohani, jasmani, itulah yang menggugah berbagai pihak untuk ikut ambil bagian pada upaya pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia; dan sedapat mungkin meniadakannya. Mereka mereka bereakasi sesuai bidang dan ruang lingkup masing-masing.  Upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan, memang tak gampang dan mudah, namun hal tersebut harus dilakukan oleh semua elemen bangsa.

Pencegahan kekerasan seksual, bukan cuma melalui tagar di Medsos, ungkapan keprihatinan, talk show, dan lain sebagainya, melainkan melaui aksi nyata yang Terstruktur, Masif, dan Sistimatis. Pendapat yang sama disampaikan oleh beberapa perempuan Indonesia lainnya. Mba Adhe, Jakarta, perlu perlindungan hukum pada korban kekerasan seksual dan pendampingan psikologis yang tak terbatas waktunya, hingga mereka benar-benar pulih; dan itu atas biaya negara. Suwadi Sripeni, di Singapura, mengusulkan hukuman seberat-beratnya pada Pelaku Kekerasan Seksual. Ita Tarigan di Jakartaa, Negara harus meberi efek jera, dan beri hukuman kebiri. Eni Mardiyanti di Kudus, menyatakan pelaku harus mendapat hukuman sosial. Anna Jap dari Kudus, berpendapat bahwa perlu edukasi menyeluruh tentang bagaimana perempuan menjaga diri dari kekerasan seksual, bila perlu dilatih bela diri. Dwi Indah dari Bali, menyatakan bahwa para pelaku harus dihukum mati, agar tak ada orang berniat lakukan kejahatan seksual.

Selain sedikit pendapat publik di atas, lembaga-lembaga keagamaan, pemerintah, politisi, dan lembaga-lebaga swadaya masyarkat pun, lebih gencar lagi berseru dan mengedukasi warga agar “sadar keamanan diri” sehingga tak menjadi korban kekerasan seksual. Misalnya,

Para politisi perempuan  dari PDIP, yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen FPDIP DPR RI sepakat, mengajukan  RUU PKS atau Penghapusan Kejahatan Seksual.  Usulan RUU PKS didorong oleh situasi darurat kejahatan seksual, naiknya frekwensi, dan makin parahnya bentuk kejahatan seksual yang menimpa anak-anak, remaja serta perempuan Indonesia. Mereka akan mobilisasi tandatangan seluruh Aleg Perempuan Lintas Fraksi di DPR RI agar bersama-sama mengajukan usulan ke Pimpinan dan Ketua Baleg DPR begitu sidang dibuka setelah reses pertengahan Mei 2016.  KPP FPDIP berharap insiatif pengajuan RUU PKS segera diwujudkan menjadi UU PKS sehingga ada langkah kongkrit pada upaya pemberantasan Kejahatan Seksual; suatu kejahatan terhadap kemanusiaan yang nyaris telah menjadi lingkaran setan, terus menerus terjadi pada berbagai daerah di Indonesia.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Selasa, 10 Mei 2016, setelah rapat koordiansi antarmenteri di kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengatakan, “Hukuman terhadap pelaku pemerkosaan akan ditingkatkan dari 15 tahun menjadi 20 tahun penjara, bahkan sampai hukuman seumur hidup. Bahkan hukuman mati bila korban sampai meninggal dunia. Selain itu, pelaku pemerkosa akan dipublikasi secara luas; hukuman publikasi tersebut hanya berlaku kepada pelaku pemerkosaan yang sudah dewasa. Sedangkan pelaku pemerkosaan yang masih di bawah umur tetap berlaku asas lex spesialis, yakni dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.”

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani

Menurut Puan. “Selain pemberatan hukuman, identitas pelaku kejahatan seksual juga akan dipublikasikan kepada publik. Sehingga publik tahu orang tersebut melakukan hal di luar kemanusiaan. Selain hukuman tersebut, pelaku pemerkosaan akan dikenai sanksi sosial agar menimbulkan efek jera serta memberikan shock therapy bagi orang lain. Teknisnya akan dibahas. Selama masa hukuman, pemerintah akan memberikan pendampingan dan rehabilitasi bagi pelaku. Sehingga diharapkan pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya.”

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Kekerasan seksual di Indonesia sudah berada pada kondisi darurat. Oleh karena itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU (anti) Kekerasan Seksual. Para utusan perempuan yang mengikuti Musyawarah Perempuan Lntas Iman” di Waingapu, Sumba, NTT, 11-12 Mei 2016, bersama pimpinan PGI mengeluarkan Pernyataan Sikap PGI. Pernyataan sikap tersebut adalan

Pertama, kekerasan seksual termasuk perkosaan yang dilakukan baik secara individu maupun berkelompok terhadap perempuan dan anak telah mengakibatkan trauma, stigma, dan kekerasan berlapis lainnya, bahkan kematian. Kekerasan seksual itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kedua, dukungan kepada korban dan keluarga agar tetap dikuatkan oleh Yang Maha Kuasa, terutama dalam menghadapi proses hukum untuk mendapatkan keadilan.

Ketiga, pejabat publik dan masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan berikutnya kepada korban dan keluarga melalui pendapat dan pandangan yang menyalahkan korban.

Keempat, mendesak negara untuk memastikan adanya regulasi dan mekanisme perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan.

Kelima, mendesak negara untuk memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual demi memberi efek jera. Meskipun demikian PGI menolak hukuman kebiri dan hukuman mati, sebab itu akan menimbulkan persoalan baru. Hukuman kebiri dapat menyebabkan pelaku mengalami masalah psikologis dan melakukan tindakan kekerasan lain yang lebih beringas. Hukuman mati tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila, yaitu pengakuan akan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai yang berhak mencabut nyawa manusia, sekaligus menyalahi hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup.

Keenam, mendesak lembaga-lembaga keagamaan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan anak dan remaja yang mengintegrasikan pendidikan seksual, kesehatan reproduksi, nilai-nilai perdamaian, antikekerasan, dan penghargaaan perbedaan. Selain itu, lembaga-lembaga keagamaan perlu memfasilitasi proses trauma healing dan perlindungan bagi korban dan keluarganya. [Sumber: Opa Jappy]

-

Komisi VII DRR RI

Abdul Malil Haramain, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, mengahrapakn pemerinta segera menyerahkan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak ke DPR. Komisi VII DPR RI siap 'menggolkannya' lewat Paripurna DPR. Sebab Perppu kekerasan seksual terhadap anak. Dia melihat urgensinya karena kondisi kekerasan terhadap anak di Indonesia sudah dalam tahap luar biasa.

Mabes Polri

Kapolri Jenderal Badrodi Haiti, menyatakan kesiapan jajaran Kepolisian RI menindaklanjuti Perppu pemberantasan kekerasan seksual; yang di dalamnya ada hukuman kebiri serta membatasi ruang gerak penjahat seksual dengan dengan pemasangan chip pada tubuh si pelaku. Menurut Kapolri, “ Ya secara teknis kan nanti dibahas, tidak sembarang setiap orang dikasih chip kan perangkatnya apa kan harus kita sesuaikan. Di beberapa negara yang telah menerapkan, tidak semua narapidana yang sudah dipasang chip. Hanya kepada pelaku kekerasan seksual yang telah dibebaskan dari hotel prodeo dan dianggap berpotensi membahayakan anak-anak. Orang yang sudah bebas itu dikasih (chip) yang tertentu, yang bisa membahayakan anak-anak. Misalnya pedofil itu diberikan gelang kaki chip, itu yang nanti bisa dimonitor di kantor polisi dia pergi ke mana, kalau sudah mendekat di tempat anak-anak seperti sekolah, polisi sudah ada di sekitar itu.”

Suara dari Istana 

Presiden Jokowi menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, untuk mengisi “kekosongan hukum” maka akan mengeluarkan Perppu; isinya antara lain mengatur hukuman terhadap pelakun kekerasan seksual.

Menurut Sekretaris Kabibinet, Pramono Anung, Jumat 13 Mei 2016, “"Presiden telah memberikan instruksi pada Menko PMK, Menkum HAM, Mensos, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk segera menyampaikan secepat mngkin dan kalau bisa dalam waktu-waktu ini karena besok Presiden berangkt ke Bali, kemudian Minggu pagi akan berangkat ke Korea. Presiden, menyerahkan substansi draf Perppu tersebut kepada Menko PMK untuk mengkoordinasikan. Diharapkan pada tanggal 18 Mei dan paling lama tanggal 20 Mei itu sudah bisa dimasukkan ke DPR.”

Dari semua pendapat di atas, agaknya masih banyak pro dan kontra. Oragnisasi Keagamaan, PGI dan KWI misalnya, jelas pro "tidak kebiri dan hukuman mati;" dengan dasar, masis ada proses pastoral dalam rangka memunculkan pertobatan serta pakem "hidup - kehiduapn serta mati-kematian" adalah hak Tuhan.

Sementara itu, Eva K Sundari, politisi PDIP, ketika dihubungi melalui WA, menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa dan kejahatahn terhadap kemanusiaan, sehingga hukumannya pun harus luar biasa, dan bukan hukuman yang "bisa diatur" secara agama, adat, dan kekeluargaan.  Beberapa rekan, yang juga dosen Fakultas Hukum PTN dan PTS, juga mendukung pendapat Eva Sundari,. Bagi mereka kekerasan seksual adalah kejahatan karena moral yang sangat buruk serta kriminal yang luar biasa; pelakunya harus dihukum seberat mungkin tanpa pertimbangan apa pun. 

So, kita tunggu saja.

 

Opa Jappy  - Bogor, Jawa Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun