Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Penertiban" Lingkungan dan Kelompok Marginal di Jakarta

19 April 2016   12:36 Diperbarui: 8 Juni 2020   09:48 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitaran Universitas Pancasila, Depok - Jawa Barat | Marginal dan Marginalisasi: Marjin [kata bahasa Indonesia] haisl penyerapan kata margin [Inggris]; artinya batas atau pinggir atau tepi; marjinal berarti berhubungan dengan batas atau tepi;. marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis.

Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal.

Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran

Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya.

Marjinalisasi tidak ada dengan sendirinya, tetapi terbentuk dengan dan melalui perencanaan yang terstruktur serta rapi; dilakukan oleh mereka yang berkuasa (dan mempunyai kekuasaan) yang berkolaborasi dengan ‘kelompok-kelompok ideologi - sara yang bisa digunakan sebagai alat penindas-penekan-paksaan.’ Kolaborasi tersebut bisa konkrit dan terang-terangan, maupun tak terlihat namun ada. Dan ikatan yang melekatkan-menyatukan kolaborasi itu adalah kepentingan dan keuntungan bersama. Sehingga alat atau perangkat yang dipakai untuk melakukan marjinalisasi adalah politik, perencanaan pembangunan dan ekonomi, institusi pendidikan, organisasi massa, kelompok-kelompok etnis, dan lain sebagainya, termasuk agama serta umat beragama.

Dokumentasi Kompasiana
Dokumentasi Kompasiana
Jika marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya; maka di berbagai pelosok Bumi, bisa ditemukan komunitas (yang ter) marginal, termasuk di Jakarta.

Kawasan, seperti, Pasar Ikan, Luar Batang, Kampung Bahari dan Pela-pela - Tg Priok, atau pun sekitar Pulo Gadung, kawasan Tanah Abang, adalah beberapa contoh kawasan di Jakarta yang dihuni oleh kelompok marginal dalam berbagai aspek. Mereka, orang-orang di sana, sudah ada atau menetap sejak lama; dan terjadi pembiaran oleh Negara, ketika kawasan tersebut belum bernilai ekonomi. Mereka membangun hidup dan kehidupan dengan berbagai keterbatasan, serta bertahan, sementara di kiri-kanannya melompok maju secara drastis.

Menurut catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) hingga sekarang ini ada aat ini tercatat ada 3.286 kawasan pemukiman kumuh yang tersebar di 191 Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya menyediakan 100 persen akses air bersih, memberantas permukiman kumuh sampai nol persen, dan menyediakan 100 persen akses sanitasi. Sampai 2019 melalui program kreatif dan inovatif bersama pemerintah daerah, komunitas, dan kelompok masyarakat.

Adanya perkampungan kumuh dan (dihuni oleh) kelompok marginal tersebut, sekaligus dijadikan alat oleh berbagai pihak, pada sikon tertentu, untuk "melawan" pemerintah, misalnya Gubernur ataupun Bupati dan Walikota.  Kelompok-kelompok "pengguna jasa kaum marginal" tersebut dengan manisnya masuk, dan mempopulerkan diri dari antara penderitaan kaum miskin dan termarginal.

Lihat saja, Pemda DKI yang mengacu pada Undang-undang (UU) No 1 tahun 2011 tentang penanganan permukiman kumuh, bnerupaya agar mempernbaiki "lingkungan dan manusia" yang termarginal; dan dilakukan dengan cara

  1. Pemugaran, yakni dilakukan perbaikan untuk kawasan pemukiman kumuh dengan kriteria ringan atau sedang.
  2. Peremajaan, yakni perbaikan  untuk kawasan pemukiman kumuh dengan kriteria sedang dan berat. Masyarakat mesti diberi tempat tinggal sementara untuk pola tersebut.
  3. Pemukiman kembali dengan cara memindahkan masyarakat ke lokasi baru dengan catatan sudah tak bisa lagi dilakuan perbaikan; mislanya melalui pemukiman kembali dengan membangun rusunawa.

Agaknya, dengan pole-pola seperti itu, maka upaya untyuk meminimalisir (walau belum mencapai peniadaan) kelompok marginal di Jakarta semakin memnbaik ataupun nampak hasilnya. Banyak kawasan sudah tertata rapi, tak sedikit komunitas masyarakat "beralih" ke rumah susun, serta banyak dari antara mereka yang menikmati gaya hidup lebih baik dari lingkungan semula.

So, tak ada yang salah dengan "upaya keras serta paksa" dari Pemda DKI; lalu mengapa ada sekelompok (kecil) orang tak berminat terhadap perubahan yang ditawarkan Pemda DKI!? Agaknya, mereka yang bertahan itu, lebih menyukai dengar "suara lain," daripada anjuran Pemda; suara lain yang penuh dengan muatan politik, ketidaksukaan, serta perlawanan terhadap kebijakan negara.

Misalnya, dua hari lalu, saya mencoba, ketika ada di Kawasan Pasar Ikan, secara acak berbicara dengan orang-orang yang bertahan di sana. Ternyata, dengan jujur mereka katakan, "Sebetulnya, kami mau!" Namun, karena diminta oleh Mas XX agar bertahan saja, maka mereka pun ikut. Lagi, menurut mereka, Mas XX akan mengatur agar mendapat tempat yang lebih baik; atau membangun kembali rumah di tempat semula.

Rupanya, ada "kekuatan kuat" untuk tetap membiarkan lingkungan kumuh dan komunitas marginal "tetap ada;" dengan itu dapat dipakai sebagi alat tekanan politik serta hal-hal lainnya.

Kenyataan adanya "turut campur" orang luar terhadap "penertiban" lingkungan dan kelompok marginal di Jakarta tersebut, patut disayangkan; mereka, kelompok luar itu, tak peduli dengan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta perbaikan taraf hidup dan kehidupan yang harus terjadi pada komunitas marginal. Bagi mereka, kelompok luar itu, harus tetap menjaga keberadaan lingkungan dan komunitas marginal agar sewaktu-waktu bisa difungsikan sesuai dengan keinginan mereka.

 

 

OPA JAPPY | FOTO KOMPASIANA - KOMPAS.COM

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun