Seru dan semakin seru; seru di Dumay Jakarata. Itulah terjadi di sejumlah kalangan umat beragama (Katolik, Protestan, dan Islam). Sejumlah kalangan atau umat Islam dan Kristen Fundamentalis, terutama di Dumay, seakan saling berhadaoan dengan amunisi masing-masing. Percaya atau tidak, kedua kubu mendukung dan menolak Bakal Kandidat Gubernur DKI Jakarta, sama-sama gunakan sejumlah ayat atau teks Kitab Suci.
Penolak Basuki Tj Purnama menyerang pendukung dan pengusung Ahok dengan sejumlah teks Qur'an, bahkan tertuju juga kepada Gubernur DKI Tersebut. Sementara itu, para pengusung dan pendukung Ahok, membalasnya dengan hasil refleksi dari teks-teks Alkitab, atau bahkan menulis ayat Alkitab.
Mereka, pendukung dan penolak, sama-sama menempuh jalan praktis; yang penting bisa mendukung penolakan terhadap Ahok; dan pengusungnya juga sama, yang penting bisa menjawab. Walau pengambilan teks-teks Kitab Suci, jika dipahami sesuai konteks dan holistik, maka tidak bersifat mendukung atau menolak Bakal Kandidat Kepada Daerah.
Para kerangka itu, agaknya umat beragama lupa bahwa memahami teks KS, tak semudah, sepraktis membawa ke mana-mana dan membaca kapan pun jika mau serta bisa baca di semua tempat. Teks KS tak bisa dipahami dengan cara sekali pandang dan baca; kemudian, (meng)ambil kata-kata yang telag dibaca tadi untuk menyerang agama (dan ajaran agama) yang lain. [Hal seperti ini, yang paling sering ditemukan pada/dalam komentar dan posting di situ/web/blog, chat room, serta jejaring sosial]
Teks KS tidak bisa perlakukan atau memahaminya dengan pendekatan pragmatis; dalam arti memahami (tepatnya memakai) teks kitab suci, bisa saja keluar latar belakang teks tersebut disampaikan atau ditulis pada masa lalu, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa kini atau kontemporer disaat teks itu dibutuhkan penguat pendapat. Ini biasanya sang pengguna mencabut satu dua atau beberapa bagian teks KS tanpa peduli konteksnya, kemudian digunakan sebagai pembenaran pendapat serta senjata untuk membela diri serta menyerang yang lain. Nah, bagaimana jika mencomot teks-teks marah, tak suka, anti, dan seterusnya (yang ada, terjadi, turun, sesui dengan sikon masa lalu), apakah harus lakukan juga di/pada era kekinian;!? dan itu menjadikan atau mengharuskan kita di sini marah, tak suka, anti, dan sejenis dengan itu!?
Juga, teks KS tak bisa diperlakukan secara (pendekatan) kontekstual (hampir sama dengan pragmatis), namun bukan ayat-ayat yang diambil, tetapi perikop, peristiwa, kisah-kisah, narasi-narasi tertentu dalam KS. Kemudian dijadikan sebagai suatu pembanding dengan sikon kekinian; ketika membutuhkan penguatan terhadap idea atau pun pendapat. Hal seperti itu, biasanya dilakukan oleh banyak orang (terutama para aktivis radikal, politikus/tisi, kandidat pemimpin daerah pada waktu kampanye, dan sejenis dengan itu) ketika berhadapan dengan suatu masalah maupun percakapan rohani, sosial dan politik, untuk menguatkan pendapatnya.
Misalnya, ketika berhadapan dengan masalah-masalah sosial dalam masyarakat, mereka langsung mengambil teks-teks KS sebagai jawaban terhadap masalah-masalah tersebut; ketika berhadapan dengan penindasan, maka ajaran para nabu atau pun bagian KS disampaikan untuk menunjukkan pembebasan dari penindasan, sabar dan tabah menderita, dan seterusnya; bahkan jika berhadapan dengan masalah psikhologis pun, teks-teks KS dipakai sebagai obat untuk mengatasi persoalan kejiwaan.
Model pendekatan seperti ini mempunyai nilai lebih dan sekaligus kekurangannya. Nilai lebihnya adalah, menjadikan KS sebagai jawaban terhadap masalah-masalah hidup dan kehidupan manusia. Namun, kekurangannya adalah teks-teks KS yang dikutip, biasanya keluar dari konteks teks-teks tersebut (latar sejarah, ajaran, budaya, dan seterusnya). Dan bahkan cenderung memaksakan teks-teks KS sebagai penguat pendapat pribadi, sambil berkata, “hal ini atau itu telah (di)Firman(kan) Allah dalam KS”.
Dari hal-hal di atas itulah, dua model pendekatan terhadap KS tersebut, yang menjadikan tak sedikit orang atau umat beragama yang suka menyampaikan teks-teks marah - teks-teks beda dan berbeda dengan sesama serta yang lainnya.
Dan seringkali teks-teks marah tersebut menjadi penguat dan pembenaran marah dan amarah terhadap mereka yang beda serta berbeda dengan dirinya. Atau, bahkan menghantar pada kerusuhan sosial, konflik yang muncul akibat menggunakan teks-teks marah.
Oleh sebab itu, mari, kita lupakan(lah) teks-teks marah, dan gunakan ayat-ayat cinta di/dalam KS untuk membangun damai, kedamaian serta hubungan yang sejahtera dengan segala ciptaan; karena salah cara agar bahagia adalah,. " .... berbahagialah mereka yang membawa damai, ... "
Berdasar hal-hal di atas; mari kita pahami bersama bahwa, rakyat DKI tidak sementara memilih seseorang untuk menjadi Kepala atau Komendan Barisan umat beragam; barisan panjang dan besara untuk berjalan ke Surga atau pun Neraka. Jika itu yang terjadi, maka silahkanlah mendukung serta menolak sesuai dengan dukungan teks-teks Kitab Suci.
Perlu perhatian bersama adalah, yang terjadi di DKI Jakarta adalah sekedar memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; mereka bukan pemipin atau kepala serta utama dalam/pada waktu ibadah; mereka bukan bakalan menjadi utama dai/dalam agama; mereka hanyalah umat biasa yang kebetulan (akan) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.
Tolak, menolak, menerima, mengusung para Kandidat secara politik/tis, cukuplah; dan tak usah menurunkan kesucian teks-teks Kitab Suci dengan hal-hal yang tak perlu.
OPA JAPPY | FOTO KOMPAS COM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H