Lalu, muncul hal berikut, yaitu “Apakah Ahok mengusung politik Kristen!?” Atau. Ketika ia menjadi Bupati dan kemudian Gubernur, Ahok menggunakan Kekristenannya, sebagai alat politik ataun ia menunjukkan diri sebagai politisi dengan politik Kristen!?
[Notes. Pada era lalu, para Kaisar Romawi dan Kerajaan-kerajaan di Eropa, memang menggunakan Kristen/Katolik sebagai alat kekuasaan. Akibatnya, Katolik, kemudian Prostestan, menjadi agama normatif serta merosot secara moral dan iman karena digunakan untuk mencapai kuasa dan kekuasaan politik. Kini, di Eropa atau berbagai belahan Bumi lainnya, nyaris tidak temukan "poltik Kristen," yang menggunakan teks-teks Akitab sebagai dasar perundang-undang. Katolik dan Protestan benar-benar menjadikan Negara atau pun politik terpisah dengan Agama].
Kembali ke Ahok.
Adakah gaya memerintah dan berpolitik ia gunakan Kekristenannya sebagai alat untuk untu mencapai kuasa dan kekuasaan politik; atau katakanlah sebagai upaya untuk mempertahankan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok gunakan "politik Kristen;" sehingga ia merambah ke gereja-gereja dan organisasi Gereja di DKI Jakarta, sambil meminta dukungan. Ahok jauh dari tindakan konyol seperti itu.
Ia tidak gunakan mimbar gereja sebagai alat untuk menyampaikan pesan, "Pilihlah saya, karena saya adalah tokoh Kristen." Tidak, ia sama sekali tak lakukan hal tersebut.
Berdasarkan beberapa kali bertermu dengan Ahok, dan pengamatan terhadap sejumlah video di Youtube, dan kesaksian pribadinya, ternyata tidak bisa disebut bahwa Ahok membawa atau mengusung “politik Kristen;” sama sekali tak nampak. Namun jika mau lebih dalam melakukan pengamatan, maka justru yang terlihat, antara lain
- Ahok tidak pernah menyebut satu pun ayat-ayat Alkitab dalam pidato, sambutan, diskusi, atau pernyataan. Salah satu video, ketika masih Wagub, menunjukan Ahok menyatakan, “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik,” kalimat tersebut memang ada di Injil, namun Ahok tak menyatakan, “Menurut Surat 1 Korintus pasal 15, ayat’ …” Juga sejumlah sepihan-serpihan dalam pidato atau sambutannya, jika pendengarnya Kristen atau Katolik, maka pasti tahu dari mana kata-kata tersebut. Ahok menyampaikan pesan kepada siapapun tanpa harus menyatakan ini adalah ayat-ayat Alkitab atau menurut Injil serta sabda Yesus. Ia tampil beda; dibandingkan dengan para pemimpin daerahnya lainnya yang suka menyisip teks-teks Kitab Suci ketika berpidato atau menyampaikan pesan kepada publik.
- Ahok tidak secara khusus, karena ia Gubernur DKI Jakarta, membangun satu gereja pun di DKI Jakarat; semua proses izin pembangunan gedung gereja, berjalan apa adanya. Bahkan tak terdengar ada sejumlah dana dari dirinya untuk Gereja-gereja di DKI Jakarta
- Tak sedikit kalangan Protestan dan Katolik, yang juga menolak Ahok; bahkan mernurut mereka Ahok justru tidak mencermin seorang pemimpin yang berkualitas Kristen karena kata-katanya yang tajam, menusuk, membuat sakit, hati, dan cenderung kasar. Hal seperti bukan ciri khas kepemimpinan Kristen.
- Tak sedikit kalangan Kristen moderat melihat Ahok sebagai “Ahok” tak lebih dari itu; ia tak mengusung politik apa pun. Ia adalah tipikal pemimpin yang mau tampil apa adanya tanpa menunjukkan diri sebagai Kristen.
- Juga, Ahok, tidak ada karena mentang-mentang Gubernur atau berkuasa, maka mengeluarkan sejumlah Perda atau pun Peraturan Gubernur yang bersifat “keagamaan Kristen;” ataupun mengangkat sejumlah pejabat penting di DKI Jakarta dengan pertimbangan agama; agamanya sama dengan dirinya. Hal tersebut berbeda dengan sejumlah daerah di di Nusantara, Gubernur, Bupati atupun Walikota melakukan terobosan dengan membuat Perda-perda keagamaan, walau bertantangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
- Dan lain sebagainya
Ahok tambil beda dan berbeda dengan politisi yang gunakan agama sebagai alat untuk meraik kuasa dan kekuasaan; ia bukan politisi yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan. Dan ada juga bukan pemuka agama (organisasi keagamaan) yang memakai trik-trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat. Politisi seperti itu, hanya mau menjadikan umat (beragama) sebagai sapi perah untuk kepentingan diri sendiri; ia tidak peduli terhadap pentingnya pelayanan dan kesaksian kepada umat; yang ada padanya hanya nama dan kehormatan sebagai seorang pemimpin serta pemuka agama.
Penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan politik, maka hal itu menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaktrampilan berpolitiknya. Ia hanya mempunyai motivasi untuk mencari untung dari kedudukan serta kekuasaan politik, dalam rangka memperkaya diri sendiri sekaligus mencari nama. Politisi seperti itu, tidak mempunyai kepekaan terhadap permasalahan dan pergumulan umat manusia atau masyarakat luas. Jika ada yang ia perjuangkan, maka hanya akan memperhatikan atau demi kepentingan orang-orang tertentu seperti mereka yang seagama dengannya. Demikian juga jika pemuka agama (organisasi keagamaan) memakai trik-trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat, maka ia sebetulnya tak layak disebut rohaniawan ataupun ulama. Ia mempunyai pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dangkal; serta tidak memiliki kharisma sebagai pemimpin umat.
Gaya politik “apa adanya’ itulah yang ada pada Basuki Tj Purnama; ia tidak menunjukkan sebagai politisi manis dan penurut; dan juga bukan politisi yang selalu muncul dengan bahasa serta ikon keagamaannya. Ia justru jauh dari seorang bapak Gubernur yang hanya senyum, ramah, serta melakukan pembiaran terhadap pelanggaran. Ia tampil dengan trade mark, jika kedapatan salah, maka reaksi pertamanya adalah marah-marah; dan setelah itu tunjukan solusi kemudian ramah.
Ternyata dengan model seperti itulah, Ahok menjadi pilihan rakyat; pilihan sejumlah besar rakyat DKI Jakarta yang telah muak dengan kinerja politisi manis, penurut, taat, tunduk parpol. Mereka secara ramai-ramai mendukung Ahok menuju DKI 1.