Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

De Zeven Provincien, Heroiknya Marine Pribumi

5 Februari 2016   19:54 Diperbarui: 5 Februari 2016   20:52 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan I.

Setelah Perang Dunia I,  Negara di Eropa dan USA menyadari penuh bahwa perang modern, tidak lagi mengandalkan pasukan berkuda dan manusia, namun  juga Angkatan Laut yang kuat  dengan banyak kapal perang untuk melengkapi armada perang di laut. Negara-negara Eropa berlomba membangun angkatan laut dalam rangka mempertahankan wilayah lautnya dan sebagai pasukan pemukul dari arah pantai.  Hal tersebut  juga dilakukan oleh Belanda; walau hanya merupakan kerajaan kecil di Eropa, namun mempunyai wilayah kekuasan yang luas, mulai dari Afrika Selatan hingga Nusnatara. Oleh sebab itu, kapal-kapal perang AL Belanda semakin diperkuat, dengan membuat kapal-kapal perang baru, serta merekrut  pemuda-pemuda dari wilayah jajahan, dhi, Nusantara, sebagai prajurit AL Belanda.

Sejumlah besar pemuda Hindia Belanda, terutama dari Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil, menjadi bagian dari AL Belanda. Mereka menadapat pendidikan dan di berbagai wilayah, misalnya Surabaya, Tegal, Makassar, dan lain-lain.  Selain menjadi prajurit AL Belanda, yang bertugas di kapal perang, ada juga yang dilatih sebagai Marine, prajurit tempur dan pelaut AL Belanda.

Sayangnya, keberadaan pribumi di AL Belanda tersebut, tidak diimbangi dengan kesamaan serta kesetaraan gaji serta fasilitas dengan prajurit dan perwira AL yang bule, asli Belanda; bahkan ada peraturan penurunan gaji para pelaut, prajurit Angkatan Laut yang pribumi.   Perbedaan  perlakuan tersebut, menjadikan sejumlah besar prajurit dan perwira AL hanya menerima nasib dan tak bias berbuat banyak. Mereka “takut” protes, karena bisa terkena hukuman pelanggaran disiplin atau pun pemecatan.

Apalagi, pada masa itu, ada pasal 34 dalam Buku Peraturan Disiplin Tentara, yang berbunyi, “Militer rendahan, yang berulangkali karena perbuatannya yang tidak senonoh dan tidak mau tobat kepada tindakan-tindakan disiplin yang dijatuhkan kepadanya, atau karena kebiadabannya menurunkan martabatnya sebagai militer, dapat diusir dari dalam ketentaraan oleh Menteri Pertahanan atau Wakilnya di Hindia Belanda (R.T. Tjindarbumi, Perintis Pers Indonesia, SP 10 Februari 1978).”

Catatan II

Tahun 1932, Soekarno, waktu itu sudah disapa  Bung Karno, keluar dari Penjara Sukamiskin, Bandung, atas undangan “pemuda/i” pergerakan datang ke Surabaya. Bung Karno berpidato di berbagai tempat di Surabaya; sekaligus sebagai momentum bangkit dan menghangatnya  semangat revolusiner menuju Indonesia Merdeka di Surabaya. Sejak itu nyaris tiap hari ada demo ataupun rapat terbuka, untuk menuntut kebebasan dan kemerdekaan Hindia Belanda, menjadi Indonesia yang berdaulat penuh. Pada waktu itu, pada setiap kegiatan para peserta memakai badge Merah Putih, nyanyikan Indonesia Raya dan menyerukan yel-yel kemerdekaan.

Ternyata semangat revolusiner  tersebut juga merambah masuk ke asrama AL Belanda di Surabaya, para Marine masih belia terbakar dengan semangat serta jiwa nasionalisme, serta cita-cita kemerdekaan Hindia Belanda. Mereka, mecapai ratusan, ikut dan melakukan protes dan demo terhadap ketidakadilan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Bahkan, mereka menolak perintah, “dilarang demonstrasi atau pun rapat umum.”

Agaknya, protes dan demo tersebut menjadikan Pemerintah Hindia Belanda di Surabaya tak sanggup mengatasinya; pemerintah kemudian mengarahkan tentara, dhi. KNIL. Pada 5 Februari 1933, para pendemo tersebut, sebanyak 500 orang ditangkap dan dipenjarakan.

 

Catatan III

Sementara itu, Kapar Perang Kerajaan Belanda De Zeven Provincien atau “Kapal Tujuh” sudah dua bulan berlayar atau melakukan patroli di peraiaran Aceh. Di atas kapal ada sejumlah besar pelaut pribumi anggota AL Belanda. Mereka antara lain Jermias Kawilarang, yang ini adalah pribumi pertama asal Hindia Belanda yang belajar di AL di Belanda; Martinj Paradja, Rumambi, Gosal, Soewarso, dan sebagainya. 

Berita tentang penahanan 500orang Marine Pribumi AL Belanda di Surabaya, juga disebarluaskan ke semua Kapal Perang Kerajaan Belanda. Info itu diterima oleh perwira radio, Moud Boshart, pelaut Belanda  yang berpihaj pada pribumi; sebelum dilaporkan ke Komendan Kapal Tujuh, Mayoor Eikenboom, ia sampaikan ke para pelaut pribumi. Para pelaut Kapal Tujuh, belum banyak bereaksi, karena bersamaan dengan puasa Ramadhan.

Sikon berubah setelah Idul Fitri 29 Januari 1933, tanggal  3 Februari 1933, Marine bernama Julian Henderik  (Ludji He) meminta izin Komendan Kapal Tujuh untuk melakukan Halal Bilhala pada salah satu bioskop di Ulehle, Kotaradja (sekarang Banda Aceh) dengan izin akan melakukan acara halal bilhalal usai Idul Fitri 29 Januari.  Namun, yang mereka, para pelaut pribumi, lakukan adalah rencana dan taktik perebutan kapal. Pertemuan tersebut, dilanjutkan dengan pemantapan aksi. Kali ini, dihadiri oleh perwakilan pelaut yang mewakili suku-suku dari Madura, Bugis Makassar, Palembang, Padang, Ambon, Minahasa, Sunda Kecil, Jawa, Sunda dan lain sebagainya; tak lupa menyanyikan Indonesia Raya. Martinj Paradja dan Jermias Kawilarang, dua sahabat dan tersenior diantara mereka didaulat sebagai Komendan Kapal. Martinj Paradja pun menunjuk Jermias Kawilarang, karena dialah pribumi pertama yang belajar di Akademi Angkatan Laut  di Belanda, yang menjadi Komendan Kapal Tujuh versi pribumi.

Tanggal 4 Februari 1933, De Zeven Provincien  sandar di pelabuhan, Komandan Kapal Mayoor Eikenboom dan para perwira Belanda sedang berpesta dansa di darat; sementara itu “para perampas” kapal melakukan aksinya, Rumambi, Gozal, Soewarso menawan dan melucuti perwira dan bintara Belanda.  Seorang pelaut memanjat cerobong asap untuk menerobos ruang mesin untuk memanaskan kapal dengan bahan bakar kayu api. Martijn Paradja membongkar gudang senjata membagi-bagikan senjata dan menyiapkan peluru meriam. Jermias Kawilarang dan Parinusa memotong rantai gembok kemudi untuk menyiapkan kemudi.

Ternyata ada pelaut bule yang lolos, sehingga aksi tersebut  ia laporkan ke Komendan Kapal, Mayoor Eikenboom; ia hanya diam, karena menyangka anak buahnya sedang mabuk. Ia pun berkata, “Mana mungkin. Sedang mana kiri dan mana kanan kapal, mereka pun tak tahu.”Sayangnya, si komendan salah duga; ketika dugaan si komendan salah. Ketika melihat  De Zeven Provincien  yang telah dikuasai pelaut pribumi, bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan, ia pun menjadi lemas. Martinj Paradja dan kawan-kawan dengan sejumlah besar senjata di kapal, menuju Surabaya. Tujuannya adalah membebaskan para prajurit dan perwira Marine Pribumi yang ditahan di Surabanya. Dan, setelah semuanya selesai, De Zeven Provincien  akan diserahkan kembali ke Mayoor Eikenboom.

News tentang De Zeven Provincien   yang dikuasai Marine Belanda asal Hindian Belanda atau pribumi menyebar ke mana-mana,  juga sampai ke Gubernur General Hindia Belanda pada waktu itu, De Jonge.  Ia memerintahkan Mayoor Eikenboom mengejar De Zeven Provincien   dengan kapal Aldibaren.  Ternyata marine pribumi berhasil melakukan manuver sehingga tak terkejar, bahkan lolos dari tembakan dari darat. Kapal-kapal perang AL Belanda yang ada di Tg Priok, De Java dan De  Soemba dikerahkan mengepung De Zeven Provincien. Martijn Paradja dan kawan-kawan tak mernyerah,  bahkan menyiapkan meriam untuk melakukan perlawanan dan mempertahankan diri.

Aksi heroik, yang belakangan disebut Pemberontakan di atas De Zeven Provincien, ternyata tercium wartawan dari Dalam dan Luar Negeri. Mereka pun mengulas tetantang Pemerintah Hindia Belanda dipermalukan oleh sekelompok pelaut pribumi; (bahkan Harian Soeara Oemoem di Surabaya memuat berita tersebut, dibreidel; Pemrednya R.T. Tjindarboemi  dipenjarakan).  Gubernur Jenderal De Jonge pun naik pitam, ia pun memberi ultimatum, jika Martinj Paradja dan Jermias Kawilarang serta kawan-kawan tak menyerah, maka mereka akan dihancurkan atau ditenggalamkan.

De Zeven Provincien  terus berlayar menuju Surabaya, kapal pengejar tertinggal jauh di belakang; karena itu, De Jonge memerintahkan pengeboman. Pesawat Angkatan Udara berjenis Donier menjatuhkan rangkaian bom ke atas De Zeven Provincien . Sejumlah awak kapal tewas,   Martijn Paradja, Gozal , dan 20 marine lainnya tewas seketika, kemudian Rumambi. Mereka yang selamat, ditahan dan diadili di Surabaya; sementara yang tewas, jenazah  dimakamkan satu liang di Pulau Kelor, gugusan Kep Seribu.

Ada hal menarik. Jermias Kawilarang dihukum 17 tahun  penjara oleh Land Raad (pengadilan kolonial Belanda). Setelah memutuskan hukuman, Hakim bertanta kepada Jermias Kawilarang, “Menerima atau tidak hukuman tersebut?” Jermias pun sejenak diam dan kemudian berkata, “Sekalipun dihukum mati, saya terima, sebab saya adalah pribumi pertama yang menguasai atau sebagai Komendan Kapal Kerajaan Belanada.”

Seketika itu, semua orang yang ada di ruangan Land Raad menjadi diam dan membisu.  Mereka bangga dan terharu. Terharu karena ada suara menerima hukuman dengan nada bangga serta kebanggaan. Bangga karena, walau hanya dalam hintungan hari, membuktikan pelaut pribumi bisa menguasai kapal perang. Marine Pribumi, tak boleh disepelehkan, mereka bisa, dan bisa.

Tiga catatan di atas, merupakan fragmen yang terpilah Peristiwa  Pembrontakan  De Zeven Provincien, sejarah sejumlah Marine Pribumi, anggota AL Belanda pada era Hindia Belanda, yang kini nyaris terlupakan.  Padahal, jauhnya sebelum lahirnya BKR Laut, kemudian ALRI, dan menjadi TNI AL di Tegal, Jateng, para “pembrontak” itulah pertama kali menunjukkan kepada Dunia, bahwa Marine Pribumi mampu menjalankan Kapal Perang.  Sisa-sisa mereka jugalah, setelah RI merdeka, kemudian “pindah” kesatuan; sementara yang tersisa menjadi pelopor-pelopor Angkatan Laut RI.

Seiring dengan perjalanan waktu, jenazah para Marine Pribumi yang mengusai De Zeven Provincien¸pada tahun 1958, dipindahkan ke Makam Pahlawan Kalibata. 

Dan, setelah itu, sejarah mereka terlupakan, tak diingat; kisahnnya hanya tersisa pada anak cucu mereka. Bahkan, anak cucu Jermias Kawilarang, pribumi Hindia Belanda pertama yang sekolah di Akademi Angkatan Belanda,  hingga kini masih berjuang agar ada KRI yang bernama KRI Jermias Kawilarang. Sejak tahun 1990an, mereka sudah berusaha, namun hasilnya belum Nampak.

Oleh sebab itu, kemarin, 4 Februari 2016, sejumlah besar anak-cucu Martinj Paradja dan Jermias Kawilarang, ada di pusara para Pembront  De Zeven Provincien; 21 orang disatukan pada satu liang lahat.

Ya, mereka lahir dari berbagai latar belakang, menyatu di atas  De Zeven Provincien berjuang bersama, akhir hidup dan kehidupan mereka pun bersama; dan tetap menyatu menanti hari akhir di liang lahat yang sana.

 

OPA JAPPY | OPA PETER A ROHI

FOTO WA INDONESIA HARI INI | OPA JAPPY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun