Sementara itu, Kapar Perang Kerajaan Belanda De Zeven Provincien atau “Kapal Tujuh” sudah dua bulan berlayar atau melakukan patroli di peraiaran Aceh. Di atas kapal ada sejumlah besar pelaut pribumi anggota AL Belanda. Mereka antara lain Jermias Kawilarang, yang ini adalah pribumi pertama asal Hindia Belanda yang belajar di AL di Belanda; Martinj Paradja, Rumambi, Gosal, Soewarso, dan sebagainya.
Berita tentang penahanan 500orang Marine Pribumi AL Belanda di Surabaya, juga disebarluaskan ke semua Kapal Perang Kerajaan Belanda. Info itu diterima oleh perwira radio, Moud Boshart, pelaut Belanda yang berpihaj pada pribumi; sebelum dilaporkan ke Komendan Kapal Tujuh, Mayoor Eikenboom, ia sampaikan ke para pelaut pribumi. Para pelaut Kapal Tujuh, belum banyak bereaksi, karena bersamaan dengan puasa Ramadhan.
Sikon berubah setelah Idul Fitri 29 Januari 1933, tanggal 3 Februari 1933, Marine bernama Julian Henderik (Ludji He) meminta izin Komendan Kapal Tujuh untuk melakukan Halal Bilhala pada salah satu bioskop di Ulehle, Kotaradja (sekarang Banda Aceh) dengan izin akan melakukan acara halal bilhalal usai Idul Fitri 29 Januari. Namun, yang mereka, para pelaut pribumi, lakukan adalah rencana dan taktik perebutan kapal. Pertemuan tersebut, dilanjutkan dengan pemantapan aksi. Kali ini, dihadiri oleh perwakilan pelaut yang mewakili suku-suku dari Madura, Bugis Makassar, Palembang, Padang, Ambon, Minahasa, Sunda Kecil, Jawa, Sunda dan lain sebagainya; tak lupa menyanyikan Indonesia Raya. Martinj Paradja dan Jermias Kawilarang, dua sahabat dan tersenior diantara mereka didaulat sebagai Komendan Kapal. Martinj Paradja pun menunjuk Jermias Kawilarang, karena dialah pribumi pertama yang belajar di Akademi Angkatan Laut di Belanda, yang menjadi Komendan Kapal Tujuh versi pribumi.
Tanggal 4 Februari 1933, De Zeven Provincien sandar di pelabuhan, Komandan Kapal Mayoor Eikenboom dan para perwira Belanda sedang berpesta dansa di darat; sementara itu “para perampas” kapal melakukan aksinya, Rumambi, Gozal, Soewarso menawan dan melucuti perwira dan bintara Belanda. Seorang pelaut memanjat cerobong asap untuk menerobos ruang mesin untuk memanaskan kapal dengan bahan bakar kayu api. Martijn Paradja membongkar gudang senjata membagi-bagikan senjata dan menyiapkan peluru meriam. Jermias Kawilarang dan Parinusa memotong rantai gembok kemudi untuk menyiapkan kemudi.
Ternyata ada pelaut bule yang lolos, sehingga aksi tersebut ia laporkan ke Komendan Kapal, Mayoor Eikenboom; ia hanya diam, karena menyangka anak buahnya sedang mabuk. Ia pun berkata, “Mana mungkin. Sedang mana kiri dan mana kanan kapal, mereka pun tak tahu.”Sayangnya, si komendan salah duga; ketika dugaan si komendan salah. Ketika melihat De Zeven Provincien yang telah dikuasai pelaut pribumi, bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan, ia pun menjadi lemas. Martinj Paradja dan kawan-kawan dengan sejumlah besar senjata di kapal, menuju Surabaya. Tujuannya adalah membebaskan para prajurit dan perwira Marine Pribumi yang ditahan di Surabanya. Dan, setelah semuanya selesai, De Zeven Provincien akan diserahkan kembali ke Mayoor Eikenboom.
News tentang De Zeven Provincien yang dikuasai Marine Belanda asal Hindian Belanda atau pribumi menyebar ke mana-mana, juga sampai ke Gubernur General Hindia Belanda pada waktu itu, De Jonge. Ia memerintahkan Mayoor Eikenboom mengejar De Zeven Provincien dengan kapal Aldibaren. Ternyata marine pribumi berhasil melakukan manuver sehingga tak terkejar, bahkan lolos dari tembakan dari darat. Kapal-kapal perang AL Belanda yang ada di Tg Priok, De Java dan De Soemba dikerahkan mengepung De Zeven Provincien. Martijn Paradja dan kawan-kawan tak mernyerah, bahkan menyiapkan meriam untuk melakukan perlawanan dan mempertahankan diri.
Aksi heroik, yang belakangan disebut Pemberontakan di atas De Zeven Provincien, ternyata tercium wartawan dari Dalam dan Luar Negeri. Mereka pun mengulas tetantang Pemerintah Hindia Belanda dipermalukan oleh sekelompok pelaut pribumi; (bahkan Harian Soeara Oemoem di Surabaya memuat berita tersebut, dibreidel; Pemrednya R.T. Tjindarboemi dipenjarakan). Gubernur Jenderal De Jonge pun naik pitam, ia pun memberi ultimatum, jika Martinj Paradja dan Jermias Kawilarang serta kawan-kawan tak menyerah, maka mereka akan dihancurkan atau ditenggalamkan.
De Zeven Provincien terus berlayar menuju Surabaya, kapal pengejar tertinggal jauh di belakang; karena itu, De Jonge memerintahkan pengeboman. Pesawat Angkatan Udara berjenis Donier menjatuhkan rangkaian bom ke atas De Zeven Provincien . Sejumlah awak kapal tewas, Martijn Paradja, Gozal , dan 20 marine lainnya tewas seketika, kemudian Rumambi. Mereka yang selamat, ditahan dan diadili di Surabaya; sementara yang tewas, jenazah dimakamkan satu liang di Pulau Kelor, gugusan Kep Seribu.
Ada hal menarik. Jermias Kawilarang dihukum 17 tahun penjara oleh Land Raad (pengadilan kolonial Belanda). Setelah memutuskan hukuman, Hakim bertanta kepada Jermias Kawilarang, “Menerima atau tidak hukuman tersebut?” Jermias pun sejenak diam dan kemudian berkata, “Sekalipun dihukum mati, saya terima, sebab saya adalah pribumi pertama yang menguasai atau sebagai Komendan Kapal Kerajaan Belanada.”
Seketika itu, semua orang yang ada di ruangan Land Raad menjadi diam dan membisu. Mereka bangga dan terharu. Terharu karena ada suara menerima hukuman dengan nada bangga serta kebanggaan. Bangga karena, walau hanya dalam hintungan hari, membuktikan pelaut pribumi bisa menguasai kapal perang. Marine Pribumi, tak boleh disepelehkan, mereka bisa, dan bisa.