Aksi teror di seputaran Sarinah, Jakarta, 14 Januari 2016, merupakan perbuatan Kelompok terorisme yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang dikontrol langsung oleh eks narapidana terorisme Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo alias Naim. Naim pernah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror pada November 2010 dan divonis 2 tahun 6 bulan penjara karena menyimpan 533 butir peluru laras panjang dan 32 butir peluru kaliber 99 milimeter. Setelah bebas pada 2014, ia mengikrarkan diri sebagai pengikut NIIS dan menuju Suriah. Tidak ada info kapan ia kembali ke Indonesia. Kemungkinan besar ia rencanakan teror Thamrin dari Suriah, dalam rangka tunjukan ke pemimpin ISIS bawa "kaki tangan"nya di Indonesia telah siap sebagai bagian dari NIIS, dan dirinya menjadi pemimpin utama. Namun, di balik itu, sebetulnya Naim telah menunjukkan sikap pengecutnya; ia tidak langsung terjuin di lapangan tapi "ongkang kaki" di tempat lain, sementara "kaki tangan"nya mati terbunuh.
Wakil Kepala Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan menyatakan, kelompok Naim beraksi di Jakarta telah berkomunikasi dengan kelompok di Suriah dan kelompok Abu Jundi. Sementara itu, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan, "Naim menjalankan perintah pemimpin NIIS, Abubakar Al Baghdadi, untuk melebarkan perjuangan di luar Irak dan Suriah. Naim dianggap berambisi ingin mendirikan wilayah kekuasaan bernama Katibah Nusantara. Teror bom di Thamrin, Jakarta, diduga kuat karena adanya rivalitas antar kelompok yang menginduk pada NIIS. Kelompok NIIS di Indonesia ingin menunjukkan dominasi di Asia Tenggara dibandingkan dengan kelompok serupa di Filipina."
Aksi Teror di Thamrin, agaknya merupakan kelanjutan dari gagalnya mereka pada Desember 2015; Naim merencanakan aksi teror pada Malam Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Rencana dan aksi kejahatan Naim cs gagal karena Satuan Tugas Khusus Antiteror Polri menggagalkannya dengan menangkap 14 teroris di sejumlah lokasi, di Cilacap (Jawa Tengah), Sukoharjo (Jawa Tengah), Bandung (Jawa Barat), Bekasi (Jawa Barat), dan Koja (Jakarta Utara);
Bagaimana dengan kita!?
Peristiwa terbaru kemarin, sekaligus membuktikan bawa simpati untuk ideologi-ideologi teror atau jihadisme masih ada di Indonesia; suatu anomali yang tak boleh ditanggapi dengan main-main. Simpati di sebagian kalangan publik Islam terhadap aksi-aksi semacam ini mudah terlacak; lihatlah media sosial, maka akan berjumpa dengan simpati yang lumayan besar pada ideologi teror dan kelompok jihadis.
Dengan demikian, agaknya “perang”terhadap terorisme di negeri ini karen belum adanya sistem yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melaporkan setiap tanda-tanda adanya simpati pada terorisme di tengah-tengah mereka. Misalnya, ketika publik menjumpai akun Twitter, Facebook, Instagram, Path, atau platform yang lain yang menampakkan simpati yang besar pada ISIS, misalnya? Ke mana mereka melapor?
Edukasi TSM kepada Publik agar "Sadar Teroris"
Melihat kenyataan di atas, maka perlu adanya edukasi terhadap publik terhadap bahaya teror dan terorisme; edukasi yang menjadikan publik menjadi "sadar teroris." Edukasi yang dimaksud, bukan melalui ruang kelas dan seminar, namun suatu kegiatan yang bersifat TSM, dilakukan oleh segenap elemen bangsa, dengan tujuan masyarakat mempunyai kepekaan terhadap tanda-tanda atau gejala teror dan terorisme, kemudian melakukan aksi bersama berupa pelaporan ke pihak keamanan; dan sebisa mungkin melakukan penutupan akses serta mempersempit ruang gerak mereka.