Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haul Gus Dur, Tanpa Kyai Berjubah dan Bersorban

27 Desember 2015   15:58 Diperbarui: 28 Desember 2015   10:46 3138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari setelah Natal 2015, keluarga besar KH Abdurrahman Wahid mengadakan peringatan enam tahun wafatnya. Kali ini, haul tersebut diadakan pada area Kediaman Gus Dus, Al Munawaroh, Warung Sila, Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Ciganjur.

Pada haul tersebut, nanpak hadir sejumlah tokoh Nasional, pejabat, mantan pejabat, termasuk Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Mensos Khofifah Indar Parawansa. Dan pastinya sejumlah Kyai NU, serta santri-wati dari Pesantren NU.  Bisa juga dikatakan bahwa Haul Gus Dur 2015, memang acaranya para kyai dengan murid-muridnya; para kyai yang datang dengan baju koko, kopiah serta sarung. Mereka tanpil, sebagaimana dalam kehariannya.

Para kyai yang hadiri menampilkan kekhasan Indonesia, dan sebagai “Islam Nusantara.”  Jadinya, tak nampak Kyai-kyai berjubah putih, janggut panjang dan bersorban. Benar. Haul Gus Dur 2015, tak Nampak Kyai berjubah dan bersorban, seperti sering nampak di media tv; kyai bersorban dan jubah putih itu paling sering memimpin laskarnya untuk demo, protes, dan mengkafirkan semua yang beda dengan kelompok mereka. Bahkan, pada setiap demo intoleran, ia tampil terdepan; terakhir ia malah "menghina" budaya Sunda, akibatnya mereka mengalami penolakan serta kurungan massa di Purwakarta.

Mereka yang hadir pada haul, bukan saja orang-orang NU, melainkan dari berbagai latar belakang agama. Misalnya, ada Romo Magnis Suseno, yang duduk di barisan VIP, didepan tempat duduk saya; ada juga Basuki Tj Purnama, sebelum naik ke podium, duduk di belakang saya; serta cukup banyak tamu yang saya kenal sebagai teolog atau pun pendeta. Juga nampak hadir rekan-rekan dari Gerakan Anti Korupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi; yang duduk di jejaran VIP.

Kehadiran sejumlah "bukan NU" ini, apalgi dengan ikon salib di baju atau leher, menjadikan banyak orang mengulurkan tangan sambil berkata, Selamat Natal Pak, sambil senurium ramah; bahkan membuka jalan agar saya bisa sampai di tempat duduk VIP. Waktu meninggalkan acara pun, sama; tak sedikit yang mengucapkan Selamat Natal dengan penuh senyum ramah. Di tempat ini, para Kyai melihat "orang asing" dengan atribut bukan Islam, mereka tidak menjauh dan memalingkan wajah, tapi mendekat serta memberi salam hangat. Hmmm, di "area Gus Dur," walau sudah tak ada, warna serta wajah toleran dan pluralis begitu hangat dan terasa. 

Ya. Haul Gus Dur 2015, kali ketiga yang saya ikuti atau datangi, bisa diadakan sebagai ajang pertemuan NU dengan orang-orang dari berbagai latar belakang agama serta kepercayaan. Mereka menyatu untuk mengenang tokoh besar yang telah memghadap-Nya dalam keabadian. Walau sempat diguyur hujan dan ditemani Guntur, tak mengurangi animo masyarakat yang mengikuti acara melalui sejumlah layar.  Luar biasa, begitu hujan selesai, mereka pun kembali duduk atau berdiri di sekitar layar.

Haul 2015 ini, menurut salah putri Gus, diadakan dengan tena “Merawat Tradisi Merajut Hati,”  bukan sekedar memperingati tanggal dan waktu kematian sang ayah, pada intinya, merupakan momen ingat kembali pemikiran, kata, dan perbuatan Gus Dur dalam rangka kebersamaan, kesetaraan, menghormati, dan mengahargai sesama; dan itu dilakukan untuk dan terhadap semua, tanpa memandang agama, melainkan manusia serta kemanusiaannya. Juga, Gus Dur, merupakan sosok historis, yang kehadirannya sangat bermakna untuk keluarga, bangsa, agama, dan Negara. Oleh sebab itu, tak patut untuk dilupakan.

Pada Haul Gus Dur 2015, di antara para tokoh NU yang menyampaikan pesan-pesan dan kenangan bersama Gus Dur; termasuk Gubernur DKI, Basuki Tj Purnama.  Acara yang diawali dengan doa serta seluruh tamu menyanyikan Indonesia Raya, diteruskan pembacaan ayat Quran, dilakukan oleh trio tilafah,  dan bacaan tahlil serta dzikir. Kemudian sejumlah tokoh menyampaikan pesan, pengalaman, kisah nyata bersama Gus Dur, setelah. Dari para pembicara tersebut ada beberapa catatan menarik, antara lain

Menteri Agama Lukmam Hakim Saifuddin,

“Ajaran-ajaran Gus Dur terus dikenang meski sosoknya telah lama tiada. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang melampaui zamannya sering tak dapat dipahami oleh orang awam. Penjunjung tinggi pluralisme. Ia juga tidak pernah mendikotomikan ilmu, sehingga ia mampu menyatukan konflik antara Islam dan Pancasila yang bertahun-tahun tidak terselesaikan.

Itu sangat luar biasa. Karena betapa sulitnya dahulu orang Islam menerima Pancasila sebagai dasar negara. Sementara pemerintah terus memaksakan dasar negara Pamcasila.

Gus Dur adalah tokoh yang mengangkat pesantren hingga ke kancah internasional. Pesantren tidak hanya terkait santri dan NU tapi juga nilai dan tradisi yang dikembangkan di dalamnya.”

===

Ketum PBNU Said Aqil Siradj,

“Gus Dur selalu memiliki terobosan-terobosan baru dalam menangani permasalahan. Gus Dur mengajarkan agar saya harus memahami ilmu ahwal, yaitu ilmu memahami kondisi sekitar kita sehingga kita tahu berada di mana.

Saat ini banyak orang mengerti agama namun tidak memahami ilmu tersebut. Sehingga banyak yang berusaha menyamakan sistem bernegara di Indonesia seperti di Timur Tengah. Padaha, Indonesia dan Timur Tengah memiliki sejarah kemerdekaan yang berbeda. Indonesia merebut kemerdekaannya sendiri, sementara negara-negara di Timur Tengah banyak yang memperoleh kemerdekaan sebagai dari hadiah penjajah.

Oleh karena itu semangat Islam Nusantara sangat tepat. Ini bukan mazhab ya, Islam Nusantara itu tipologi. Para kiai-kiai di Indonesia juga menanamkan rasa cinta tanah air yang kuat kepada para santrinya. Hal ini yang tidak terjadi di negara Timur Tengah. Coba cari di Timur Tengah tokoh yang nasionalis tapi ulama. Nggak ada. Pasti kalau nasionalis, dia sekuler. Cuma ada di Indonesia yang nasionalis dan ulama.

Gus Dur yang selalu berani mempertahankan keyakinannya meski harus berbeda dari pendapat umum. Harusnya yang jadi Ketum PBNU, yang begini nih (seperti Gus Dur).”

====

Kiai Salahudin Wahid atau Gus Solah ,

“KH Hasyim Asyari, salah satu tokoh pendiri NU yang tak gila jabatan. Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, menurut dia, pimpinan tentara Jepang di Jakarta menawarkan kursi Presiden Indonesia pertama ke Hasyim Asyari yang saat itu sibuk mengasuh Ponpes Tebu Ireng. 

Namun, tawaran itu ditolak oleh kakek Gus Dur itu. Jawab Mbah Hasyim, Saya ini kiai, tugas saya mengurus pesantren dan saya tidak mungkin meninggalkan Tebu Ireng. Menurut Mbah Hasyim sesuai saran dari Pak Wahid (putra Hasyim Asyari yang juga ayah Gus Dur) bahwa Bung Karno sebagai presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden.

Selain tak gila jabatan, ajaran Hasyim Asyari lainnya adalah bahwa ibadah dalam Islam tak sebatas ritual keagamaan. Namun juga ibadah sosial dan kenegaraan yang salah satunya bisa diaktualisasikan melalui organisasi NU.

Mbah Hasyim meminta kepada para santrinya untuk berkhidmat kepada NU, mengabdi kepada NU, untuk memberi manfaat kepada NU. Bukan mengambil manfaat dari NU.

Sayangn sekali, kini banyak tokoh NU terbukti kurang pandai memberi manfaat pada NU tetapi pandai sekali mengambil manfaat dari NU untuk kepentingan dirinya serta kelompoknya. Sehingga terjadilah hal-hal yang tidak kita inginkan di dalam muktamar yang terakhir. Semoga mereka yang seperti ini diberikan oleh Allah keadilan supaya mereka menyadari dan memperbaiki dirinya.

===

Menko Kemaritiman Rizal Ramli,

“Mengenang sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai guru multibidang. Rizal mengaku mendapat pelajaran dari Gus Dur bahwa tidak semua hal yang terjadi adalah rasional. Saya waktu itu jawab santai aja. Kita bagi tugas aja Gus. Saya yang rasional, Gus Dur yang di luar rasional. Namun belakangan sepeninggal Gus Dur, saya semakin memahami apa yang dimaksud Gus Dur,  banyak hal yang terjadi di luar jangkauan rasionalnya.

Tak hanya itu, saya  juga belajar memahami rakyat dari Gus Dur; belajar berpidato di depan rakyat melalui Gus Dur. Suatu hari, diminta oleh Gus Dur berpidato di depan puluhan ribu warga, merasa sangat tegang; berbicara banyak hal, namun para warga hanya diam terbengong-bengong mendengarkan ucapannya.

Gus Dur bilang, 'Rizal kalau bicara di depan rakyat jangan kayak dosen. Bicara yang ngalir saja seperti cerita, dan topiknya jangan terlalu banyak, kalau perlu jangan pakai angka,' Itu yang tidak saya dapatkan di sekolah."

====

Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama, “Gus Dur yang sangat menjunjung tinggi pluralisme. Gus Dur mendudkung saya saat calonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung pada tahun 2007, namun akhirnya gagal. Gus Dur selalu memberikan dorongan kepadanya untuk terus berjuang, bekerja, mensejahterakan rakyat Indonesia. Gus Dur tak pernah mengecilkannya meski ia berasal dari kaum minoritas, yakni etnis Tionghoa. Jadi inilah Gus Dur, selalu membuat kita semakin berani dan percaya diri.”

Nah, itu pendapat sejumlah tokoh terkenal dan dikenal publik, bagaimana dengan kata-kata orang-orang kecil!? Sebelum masuk ke area acara, saya sempat merekam beberapa ungkapan tentang Gus Dur. Misalnya

Kang Amin, pemiliki dan pedagang warung mie, di seberang jalan masuk kediaman Gus Dur, “Gus Dur, mungkin tak kenal siapa saya, tapi saya ikuti apa yang ia ucapakan ketika di Mesjid, Istana, atau di rumahnya; Gus Dur menjdikan saya melayani pembeli dengan tenpa mandang siapa dia atau pun agamanya. Semua orang saya hargai sebagai ciptaan Allah.

Sobari, anggota Banser yang menjaga arus lalu lintas menuju kediaman Gus Dur. Ia dengan ramah memandu arah, bahkan menolak pemberian uang tip. Menurutnya,  “Gus Dur telah memperlihatkan diri sebagai bapak atau pemimpin untuk semua orang, bukan hanya untuk NU atau pun umat Islam.”

Agus, pedagang asal Comal, yang menggelar dagangan di sekitar area Haul, menyatakan bahwa dirinya menjadi nyadar bahwa sebagai umat beragama, harus mempunyai penilaian yang sama dan sejajar kepada mereka  yang tak seagama. Demikian juga dengan Mba Partumi, perempuan setengah baya, pedagang minimuan dari Solo, menyatakan bahwa Gus Dur adalah orang Jawa dan Muslim, yang dilahirkan untuk  Indonesia dan semua umat beragama. Ia berteman dengan banyak orang.

Ternyata Gus Dur adalah sosok yang tak terlupakan; ia ada dan tetap dalam semua hati yang bersentuhan langsung dan tidak dengan dirinya.

Luar biasa.

Ya. Saya suka dengan pendapat Mba Partumi, “Gus Dur adalah orang Jawa dan Muslim, yang dilahirkan untuk  Indonesia dan semua umat beragama.” Benar, ia dilahirkan sebagai orang Jawa dan umat Islam, namun hidup serta kehidupannya bukan terbatas pada Jawa dan Islam, tapi untuk semua umat beragama di Indonesia.  

Bagaimana dengan anda!? Tentu, masing-masing mempunyai pengalaman langsung maupun tidak dengan Gus Dur.

 

 

OPA JAPPY | LENTENG AGUNG, JAKARTA SELATAN

SEMUA FOTO KOLEKSI PRIBADI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun