Anggota Parlemen, DPR, DPRI I, DPR II (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Anggota Parlemen), sederhananya adalah mereka, dengan persyaratan tertentu, yang terpilih menjadi Wakil Rakyat dengan tugas khusus menyuarakan aspirasi politik pemilih di wilayah pemilihanyan.
Mereka terpilih melalui suatu proses politik cukup panjang dan disertai pendanaan yang tak sedikit. Setelah terpilih dan disebut “wakil rakyat;” mereka memegang dan mengemban mandat dengan tugas penting yaitu memperjuangkan suara serta kepentingan politik rakyat.
Anggota Parlemen sebagai pemegang mandat mempunyai tanggungjawab moral, etis, politik, dan sosio-religius.
Secara fungsional, mandat adalah tugas dan tanggungjawab diberikan seseorang kepada orang lain (biasanya bawahan atau orang yang dipercayai) untuk bertindak mewakilinya. Konsekuensinya tugas dan tanggungjawab itu harus dikerjakan sampai tuntas, kemudian dipertanggungjawabkan kepada pemberi mandat.
Mandat bersifat mewakili, namun sekaligus mengandung makna, di mana mandat hanya berfungsi sesuai tugas yang diberikan, serta berlaku pada rentang waktu tertentu.
Dengan demikian, mandat (termasuk semua aspek-aspeknya), yang ada pada Anggota Parlemen, pada waktunya harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau para pemilihnya.
Setelah seseorang telah menjadi Anggota Parlemen, tentu saja, ia mempunyai ikatan dengan pemilihnya; dengan itu, ia mengetahui aspirasi politik rakyat memilihnya.
Dalam kerangka itu juga, Anggota Anggota Parlemen, sebagai pemegang mandat, tidak melakukan hal-hal seperti sesuatu yang bisa dinilai sebagai tidak setia terhadap mandat diberikan; melupakan janji-janji politik selama kampanye; menutupi komunikasi dan interaksi dengan pemilih; melanggar Undang-Undang, misalnya tindak kriminal, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran etika, permufakatan jahat melawan NKRI, dan lain sebagainya.
Hal-hal yang tak boleh dilakukan oleh Anggota Parlemen itu, ternyata yang paling sering mereka lakukan adalah tindak pidana korupsi.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan bahwa dari tahun 2005 - 2016, jumlah anggota DPR yang ditangkap KPK 57 orang dan total Anggota Parlemen yang dijerat KPK sebanyak 85 orang.
Angka-angka tersebut baru dari sisi korupsi, belum lagi pelanggaran lainnya. Hal ini dapat bermakna bahwa para pemegang mandat tersebut, selayaknya tak cocok sebagai wakil rakyat dan oleh sebab itu, mandat mereka harus dicabut.
Ok, jika Anggota Parlemen terlibat pelanggaran hukum, dan kemudian divonis penjara, dengan mekanisme yang ada pada KPU, sesuai perundang-undang yang berlaku, maka dengan mudah mereka bisa diganti.
Di sini, Parpol terkait akan melakukan pergantian antar waktu atau PAW. Dengan demikian, ia akan menjadi “mantan Anggota Parlemen” atau “mantan pemegang mandat rakyat.”
Namun,
- bagaimana dengan Anggota Parlemen yang tidak melakukan pelanggaran hukum atau tindak kriminal,
- mal-prestasi,
- tidak beriteraksi,
- tak perjuangkan aspirasi pemilih, melanggar kode etik sebagai Anggota Parlemen,
- melakukan kebohongan serta pembongan publik
Hal-hal tersebut, “diperkuat” dengan tindakan mereka tak melanggar Undang-undang yang berlaku di NKRI atau tak ada di/dalam KUHP.
Katakanlah,
- Anggota Parlemen tersebut,
- lebih suka mengurus bisnis daripada hadir di/dalam persidangan Parlemen,
- melakukan sesuatu yang bisa dinilai sebagai tidak setia terhadap mandat diberikan,
- melupakan janji-janji politik selama kampanye
- menutupi komunikasi dan interaksi dengan pemilih,
- bahkan melakukan tindak kekerasan dalam keluarga
Apakah mereka masih bisa disebut dan dipertahankan sebagai “Pemegang Mandat Rakyat!?”
[Contoh: Fakta masa lalu membuktikan bahwa Anggota Parlemen bisa “dengan mudah” mencabut mandat Presiden Gus Dur; dan juga di tinggkat lokal, Aceng terlempar dari kursi kekuasaan Kabupaten Garut.] Tapi, belum pernah terjadi rakyat atau pemilih mencabut mandat yang pernah ia berikan, melalui pemilu, kepada seseorang agar menjadi Anggota Parlemen; belum terjadi, Anggota Parlemen terlempar secara politik karena rakyat mencabut mandat yang diberikan kepadanya.
Padahal, Anggota Parlemen dipilih oleh rakyat dan mendapat mandat untuk memperjuangkan aspirasinya, dan ia pun mempunyai hak “menarik kembali pilihan dan mandat” tersebut. Katakanlah, hal itu bisa terjadi jika Anggota Parlemen
- sering mengabaikan kepentingan publik yang semestinya diperjuangkan. Bahkan, seharusnya rakyat dapat mencabut mandat wakil rakyat.
- kerap studi banding ke luar negeri, kegiataan yang hanya menghamburkan uang rakyat dan tak memberikan manfaat yang jelas
- semestinya lebih banyak ke lapangan, menemui rakyat, menyerap aspirasi, lalu memperjuangkannya
- mempunyai komitmen rendah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang memilihnya
- melakukan hal-hal diluar kewenangan, fungsi, dan tugas sebagai pemegang mandat rakyat; dan justru tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan
- termasuk, melakukan sesuatu yang bisa dinilai sebagai tidak setia terhadap mandat diberikan; melupakan janji-janji politik selama kampanye; menutupi komunikasi dan interaksi dengan pemilih; melanggar Undang-Undang, misalnya tindak kriminal, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran etika, permufakatan jahat melawan NKRI, dan lain sebagainya
[Contoh Teranyar: Negeri ini sementara ramai dengan Anggota Parlemen yang ikut-ikutan melakukan kegiatan yang seharusnya domain eksekutif. Berbagai elemen bangsa, melalui media massa, demo, surat terbuka, petisi, dan lain-lain, berseru dengan nada serta pesan yang sama yaitu, “Cabut mandat sebagai wakil rakyat.” Suara mereka nyaring dan bergema ke mana-mana, tapi hanya cukup di situ. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, sebab tak ada mekanise, aturan, peraturan, undang-undang yang mendukung “rakyat atau pemilih mencabut mandat yang pernah mereka berikan kepada seseorang sehingga menjadi Anggota Parlemen. Dengan itu, Sang Anggota Parlemen tersebut, jika “jika divonis” tak bersalah oleh MKD, maka ia tetap sebagai Anggota Dewan yang Terhormat.] Itu salah satu contoh; mungkin saja ada sejumlah Anggota Parlemen lainnya, misalnya, yang melakukan KDRT, tertangkap selingkuh/berzina, menggunakan obat terlarang, tidak aktif di persidanngan, dan lain sebagainya. Kemudian dinilai oleh para pemilihnya, bahwa ia atau mereka layak dicabut mandatnya. Mereka hanya bisa menilai, namun tak mampu berbuat apa-apa. Karena memang tak ada mekanisme untuk itu.
Perlu Mekanisme
Pencabutan mandat yang dilakukan rakyat/pemilih terhadap Anggota Parlemen, bisa dilakukan dengan berbagai cara; dan semuanya butuh proses serta dukungan berbagai pihak.
Mekanisme tersebut, antara lain,
- Mekanisme recall atau pergantian antar waktu oleh Parpol. Di sini, Parpol (dan juga KPU/D) mengganti Anggota Parlemen sesuai dengan peraturan atau perundang-undang yang berlaku. Sayangnya, cara PAW ini tak berjalan dengan baik dan nyaris tak terdengar. Parpol bukannya mendengar “tuntutan pemilih” untuk mencabut mandat wakil mereka, melainkan membela dan mempertahankan Sang Angota Parlemen.
- Refrendum dan “Pemilu Terbatas.” Pemilu di Indonesia terbagi dalam Dapil atu Daerah Pemilihan; setiap Anggota Parlemen terikat dengan para pemilih pada Dapil tersebut. Dengan demikian, jika Anggota Parlemen dari Dapil itu mal-prestasi, maka pemilihnya berhak melakukan pencabutan mandat. Prosesnya bisa dilakukan melalui referendum dan atau “Pemilu Terbatas” hanya pada Dapil bersangkutan. Para pemilih, sudah tidak tergantung pada memilih atau tidaknya pada pada Pemilu, pada Dapil diminta memilih “mempertahankan” dan atau “mencabut” mandat. Hasilnya akan terlihat setelah perhitungan suara
- Usulan Elemen dan Organisasi Masyarkat. Berbagai elemen masyarakat, entah resmi atau tidak, melakukan tekanan publik ke Pemerintah dan Parlemen. Secara khusus, karena intensitas tekanan (melalui demo, pernyataan sikap, surat terbuka, dan pers) yang ditujukan kepada Parlemen dan juga Parpol, maka mereka melakukan persidangan-persidangan; kemudian berujung pada “pemecatatan” Anggota Parlemen; dan mengganti dengan orang lain; pergantian tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Proses “Pengadilan dan Penghukuman Politik.” Proses ini melalui intern Parlemen yaitu Mahkamah Kehormatan DPR atau Badann Kehormatan DPRD. Pada proses ini, pemilih dan Anggota Parlemen bisa memadukan usulan, pendapat, dan laporan tentang orang atau oknum yang akan dicabut mandatnya. Di sini, terjadi persidangan dan penghukuman politik. MKD atau BKD yang memutuskan sesuai permintaan pemilih atau masukan-masukan yang diterima, kemudian mencabut mandat rakyat yang ada padanya. Proses ini, mungkin mudah dan tak lama; mudah dilakukan jika ada kemauan politik.
Dari semua mekanisme di atas, jika dicermati, mungkin, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannnya, namun tak bisa menjadi ukuran, jika ingin mencabut mandat Anggota Parlemen yang tak benar.
Lebih dari itu, mekanisme pencabutan mandat Anggota Parlemen oleh rakyat harus ada atau diundangkan, agar menjadi frame untuk anggota dewan: melalui frame tersebut Anggota Dewan bisa menjaga diri, bekerja, dan berkarya sesuai dengan asas yang berlaku baginya.
Rakyat, atau pun bangsa ini, harus mempunyai mekanisime yang jelas, sistimatis, dan sesuai Undang-undang untuk mencabut mandat Anggota Parlemen.
Jika tidak, maka sampai kapan pun, Anggota Parlemen dengan mudah melakukan hal-hal yang tak sesuai julukan istimewanya yaitu Anggota Dewan yang Terhormat.
Rakyat membutuhkan wakilnya yang bermartabat, bukan sebaliknya.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
SUPLEMEN
ETHOS, merupakan karakter moral yang baik dan diterima oleh siapapun, ia mampu melakukan pendekatan dengan/melalui cara-cara atau perilaku hidupnya yang baik dan bermartabat
PATHOS, kemampuan membuka jalan untuk orang lain; mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan.
LOGOS, kemampuan mengukapkan kata-kata yang dapat atau mampu meyakinkan orang lain, sehingga mereka mendapat pengetahuan baru ataupun berkembang secara intelektual dan kecerdasannya
Jadi, ilmu, seni, olahraga harus dipadukan atau tercermin dengan [melalui] etos, pathos, dan logos, itulah kecerdasan asali manusia. Dengan demikian, mudah dipahami bahwa manusia [dan budayanya] pada masa lalu berhasil membangun peradaban yang tinggi di masanya. Peninggalan-peninggalan mereka, misalnya suku Inca di Amerika, Istana-istana megah di Mesir dan Italia, Yunani, bahkan prasasti-prasasti dan Candi-candi di Thailand dan Indonesia, semuanya menunjukkan adanya local genius, yang menguasai ilmu, seni, olahraga, dan memperlihatkan bahwa mereka mempunyai ethos, pathos, dan logos.
Sikon kekinian, di INDONESIA, adakah pemimpin dan pemuka bangsa yang masih menyadari bahwa mereka patut mengungkapkan ETHOS, PATHOS, dan LOGOS!?
Bangsa ini membutuhkan elite bangsa, pemimpin, anggota parlemen, tokoh agama, bahkan ayah-ibu-orang tua yang berethos. Negeri ini, membutuhkan mereka mempunyai karakter moral yang baik dan diterima oleh siapapun. Dan dengan itu, ia mampu melakukan pendekatan - memimpin - menata semua yang ada di sekitarnya dengan cara-cara atau perilaku hidupnya yang bermartabat.
Pathos, juga harus ada pada semua anak bangsa ini. Pathos yang merupakan kemampuan membuka jalan untuk orang lain, sekaligusmenujukan diri sebagai orang yang tidak egois dan egoistik. Seseorang yang berpathos, maka ia biasanya membuka jalan, membuka kesempatan, membuka peluang agar orang lain maju. Pathos juga menghasil mampu menyentuh perasaan dan emosi seseorang melalui teladan hidup dan kehidupan.
Orang yang berlogos, adalah manusia berilmu - mempunyai hikmat; seseorang yang cinta (philia) dan selalu berkata-kata penuh (berhubungan dan menghasilkan) hikmat, adalah seorang philosophia/is - filosof. Orang biasa pun mampu berlogos, karena manusia bisa dipahami - dimengenti karena logoi - logou (kata-kata) nya.
Pemimpin, elite bangsa, anggota parlemen, dan seterusnya, jangan cuma punya kemampuan untuk memimpin (karena ada kuasa dan kekuasaan), tetapi harus belajar untuk mampu (serta berkemampuan) mengungkapkan kata-kata yang dapat meyakinkan orang lain, sehingga mereka mendapat pengetahuan baru atau pun berkembang secara intelektual dan kecerdasannya. Pemimpin yang hanya andalkan Uang-Kuasa-Kekuasaan, maka ia sepatutnya tak layak untuk memimpin; ia hanya akan menghasilkan manusia-manusia opurtinis, abs, serta dikelilingi oleh para penjilat.
Dan dengan penuh kepastian, akhir dari mereka akan berakhir di/dalampenjara hukum atau pun penjara sosial. Mereka akan cepat terlupakan, dan hilang dari kenangan.
OLEH OPA JAPPY | KOMPASIANA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H